Dilahirkan di keluarga yang seperti apa, dengan orangtua yang bagaimana tentu bukanlah menjadi pilihan ketika kita dilahirkan di dunia. Menjadi manusia yang tetap berusaha menjalani kehidupan dengan semaksimal mungkin menjadi satu-satunya pilihan yang harus dijalani.
Seperti Jelita, dilahirkan sebagai anak perempuan terakhir dengan dua saudara perempuan yang sudah menikah dan satu saudara laki-laki yang kini sedang menempuh pendidikan sarjana di Kota Pelajar. Jelita cenderung tumbuh menjadi pribadi yang pendiam dan menarik diri. Terpaksa mencari setiap kesempatan beasiswa hanya agar tidak bernasib sama dengan kedua kakak perempuannya, menikah muda.
Berbeda dengan saudara laki-lakinya yang dengan sekuat tenaga orangtuanya upayakan agar bisa mendapatkan gelar sarjana, Jelita justru harus berjuang sendirian di ibukota hanya untuk mendapatkan ijazah SMA.
"Nduk, maaf yo. Lha Mas-mu ini harus bayar semesteran jadi kita terpaksa hutang ke pakdhe Domo."
"Iyaa, Bu."
"Enam bulan kedepan cuma bisa transfer lima ratus ribu perbulan yaa."
Jelita hanya bisa mendesah mencoba mengusir bayangan kepahitan yang akan terjadi dalam enam bulan kedepan. Cara satu satunya yang mungkin bisa ia lakukan adalah kembali meminta pekerjaan kepada bu Sumi, ibu kontrakannya yang memiliki usaha loundry.
Jika memiliki masalah keuangan biasanya Jelita akan membantu mencuci dan setrika di loundry milik bu Sumi untuk mendapatkan uang saku tambahan. Syukur-syukur jika Bu Sumi menggratiskan kontrakannya, itu seperti sebuah kebahagiaan yang tak terkira bagi seorang Jelita.
"Iyaa, Bu."
"Lha gimana? Ibu sebenarnya juga nggak tega, tapi kamu sendiri dulu yang ngeyel mau tetap sekolah padahal Bapak dan Ibu sudah bilang nggak mampu."
"Nggak apa-apa, Bu. Nanti Lita bisa sambil cari kerjaan untuk makan."
"Yoweslah, jangan lupa mampir ke tempat Budhe Ratih, Assalamualaikum."
"Ya, Bu. Walaikumsalam."
Jelita menelungkupkan tubuhnya ke kasurnya yang tipis, sedikit dibenturkan ke bantal agar mengurangi pusing yang tiba-tiba ia rasakan. Padahal bulan depan Jelita akan menghadapi ujian akhir sekolah. Sama sekali tidak ada yang memperdulikan keadaan Jelita. Bahkan justru orangtuanya menambah bebannya dengan memotong uang bulanan Jelita yang sudah sedikit menjadi sedikit sekali. Jika sudah berada dalam posisi tersudut seperti ini, Jelita menyesali keputusannya untuk memaksakan sekolah apalagi di ibu kota. Dulu Jelita merasa uang saku yang didapatnya dari beasiswa cukup untuk menghidupinya disini tetapi nyatanya Jakarta memang sangat keras untuk manusia miskin seperti dirinya.
"Aaargh," Jelita menangis menderu tak lagi mampu menahan semua masalah yang kini sedang membelitnya.
Suara bunyi telefon menyadarkan Jelita dari tangisnya, melepaskan tumpukan bantal dari wajahnya. Jelita mengambil telefon genggam miliknya yang menampilkan nama Langit sedang memanggil.
Langit, kekasihnya! Sudah lebih dari seminggu yang lalu semenjak Langit meninggalkan dirinya seorang diri di apartment miliknya memaksa Jelita untuk pulang sendirian menggunakan bis kota menjelang malam karena ia tak kunjung kembali. Sepeninggalan Langit, Jelita masih berharap laki-laki itu akan kembali setelah menjemput Senja. Kemudian mengantarkannya pulang. Bukan karena Jelita manja ingin diantarkan pulang Langit menggunakan mobil atau malas menggunakan bis kota seperti biasanya, tetapi karena Jelita sama sekali tidak tahu arah jika dari alamat apartement Langit ke tempatnya.
Namun hingga pukul delapan malam, laki-laki itu tak kunjung menunjukkan batang hidungnya. Memaksa Jelita mau tidak mau memberanikan diri untuk pulang dengan modal bertanya pada beberapa orang di jalan, berharap bisa selamat sampai di kontrakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diantara Langit & Senja
RomanceKeberadaan Jelita menjadi bayangan di belakang seorang Langit dan Senja. Kehadirannya tak berarti, hanya sebagai pelarian Langit dari rasa cinta kepada sahabatnya sendiri. Hingga sepuluh tahun perpisahan keduanya, semuanya tak lagi sama. Sebuah raha...