Bab 29 - Menerima masa lalu

4.7K 367 9
                                    

Senja memoleskan cat akrilik di standing kanvas yang berada dihadapannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Senja memoleskan cat akrilik di standing kanvas yang berada dihadapannya. Tangannya sangat lincah bermain dengan warna, membentuk sebuah siluet wajah. Sebentar lagi ia akan menyelesaikan lukisannya. Garis wajah Langit yang akan selalu Senja rindukan sampai kapanpun. Senja bukan tidak tahu, jika malam ini Langit sedang menemui Jelita di rumah Aldo. Bukan hal yang sulit untuk mencari informasi itu. Ia bisa mendapatkannya dari beberapa orang di sisi Langit yang kenal cukup dengan dengannya.

Jika Langit memang dekat dengan Jelita, dia bisa apa?

Selama ini, dengan sekuat tenaga Senja melawan untuk tidak pernah mengenali perasaannya. Karena memang perasaan yang Senja miliki justru akan semakin mempersulit keadaan Langit. Jadi, memang hal yang seharusnya ketika Langit memilih Jelita sebagai tumpuannya.

Dan Senja? Ia akan selalu bersembunyi dari dunia yang tidak berpihak kepadanya.

***

Langit membawa Jelita ke sebuah restoran mewah hotel yang berada di pusat kota Jakarta. Suasana yang tenang dengan alunan musik jazz menemani langkah Jelita dan Langit yang berjalan ke arah meja resepsionis dengan bersisihan.

"Seharusnya kalau mau ngajakin kesini bilang. Baju gue sama sekali nggak sesuai dengan tempatnya," ucap Jelita sebal.

Langit hanya tersenyum tipis menanggapi keluh Jelita, tempat ini dipilihnya secara random. Tadi ia sama sekali belum memiliki rencana akan membawa Jelita kemana karena pikirannya hari ini sudah dipenuhi dengan pertemuannya nanti dengan Jelita.

"Cocok, Ta." Entah kenapa sebutan yang Langit sematkan kepada Jelita terasa begitu berbeda ketika terdengar di telinganya.

Langit memilih meja yang berada di luar ruangan, restoran hotel ini berada di lantai tertinggi sehingga ia bisa melihat pemadangan kota Jakarta. Pemandangan langit malam dan lampu gemerlap ibu kota menjadi view yang sangat romantis bagi mereka berdua. Setelah memesan menu untuk makan malam, mereka kembali dengan suasana yang canggung. Sepuluh tahun bukan waktu yang sebentar dan kenangan yang mereka miliki dulu memang tidaklah lama. Tetapi entah mengapa masih memiliki efek yang sangat kuat bagi keduanya.

Jelita masih memusatkan perhatiannya ke arah lampu kota Jakarta. Entah karena pemandangan di sana yang terlalu indah, atau karena pemandangan di hadapannya yang terasa menakutkan.

"Apa pemandangan di sana lebih menarik perhatian, daripada gue yang ada di hadapan lo?" tanya Langit yang membuat Jelita salah tingkah. Wanita itu menaruh perhatiannya ke arah Langit sebentar, kemudian kembali menatap ke arah kota Jakarta.

"Butuh usaha yang kuat buat kembali berhadapan sama lo, dan sekarang gue sedang mengisi amunisi kekuatan untuk itu, sabar," jawab Jelita dengan senyum yang terselip samar di sela-sela kalimatnya.

"Ta, boleh gue minta untuk mengalihkan perhatian lo kesini? Gue juga butuh kekuatan untuk pertemuan ini. Bedanya, gue dapat amunisi dengan melihat wajah yang sekarang berada di hadapan gue."

Diantara Langit & SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang