BAB 22 - Tuan Tengku Adjisuseno

5.6K 365 3
                                    

Langit sedikit terburu-buru memasuki kantornya, berjalan dengan cepat karena pagi ini ia ada meeting dengan salah satu investor yang berniat untuk menggelontorkan dana cukup besar ke perusahaan miliknya. Sesuatu hal yang tidak mungkin Langit sia-siakan. Beberapa kali ia melihat jam di tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya sibuk mengecek pesan dari seketarisnya.

"Sudah datang?"

"Sudah, Lang," jawab Hanafi.

Hanafi sahabat Langit dan Aldo dulu sewaktu SMA. Ia adalah orang yang Langit minta untuk join bersama membangun sebuah bisnis karena mereka memiliki hobby yang sama. Berbeda dengan Aldo yang memang sudah dipersiapkan orangtuanya untuk meneruskan bisnis restaurant milik keluarganya. Aldo memilih fokus dibidang itu. Mungkin karena kesibukan orang dewasa yang sudah berubah dan juga permasalahan Jelita yang membuat dia dan Aldo tak lagi dekat seperti dulu.

Jelita, kenapa tiba-tiba nama wanita itu muncul di pikirannya?

"Lang, konsen lo," hardik Hanafi ketika melihat Langit yang sedang tidak fokus.

"Iya, sorry."

Mereka mempersiapkan presentasi yang sudah dipersiapkan Langit semalam. Lembur hingga pagi menjelang membuat Langit bangun kesiangan di pagi harinya. Padahal ia sudah mengatur alarm di jam enam pagi, tetapi Langit justru terbangun hanya untuk mematikan alarm kemudian tidur lagi. Payah! Dia memang butuh istri untuk membangunkannya di pagi hari.

Kenapa nyambungnya kesana sih, Lang?

"Pak, pihak dari investor sudah menunggu di ruang meeting."

Fransisca, seketaris yang membantu Langit dan Hanafi untuk mengatur segala jenis adminsitrasi dan jadwal keduanya. Fransisca adalah gadis yang sangat cekatan dan pintar mengelola waktu.

"Ya, tujuh menit," jawabnya,

Sesuai yang dijanjikan, tujuh menit setelahnya Langit berjalan beriringan dengan Hanafi masuk kedalam ruangan meeting yang letaknya bersampingan dengan ruang kerja Langit. Bangunan tempat kantor mereka tidak terlalu besar. Beberapa ruangan kecil memang dimanfaatkan untuk menjadi tempat meeting. Mereka memang harus menghemat budget karena perusahaan mereka bukanlah perusahaan adidaya. Mereka baru saja merintis.

"Selamat, pa ... gi." Kalimat Langit tertahan ketika melihat perwakilan dari calon investornya. Bukan perwakilan yang datang tetapi Bos dari bos-nya dari bos-nya yang langsung datang untuk mengikuti meeting. Seseorang yang tak lain adalah Tn. Tengku Bagus Adji Suseno, Papa Langit.

Mencoba bersikap profesional, Langit tetap menyapa dengan formal dan membuka presentasi dengan baik. Beberapa kali Hanafi memperhatikan mimik wajah keduanya, memastikan Langit untuk tetap bisa menjaga moodnya. Hanafi semakin kagum kepada Langit, ia sama sekali tidak terpengaruh dengan kedatangan Papanya.

"Boleh saya berbicara berdua dengan kamu?" tanya Tn. Tengku. "Sebagai seorang ayah."

Pertanyaan itu tentu membuat heboh seluruh peserta rapat yang sama sekali tidak mengetahui latar belakang Langit. Mereka baru saja tahu bahwa bos-nya adalah anak dari seorang pengusaha Tambang besar yang cukup sering seliweran di dunia politik akhir-akhir ini. Bisik-bisik mulai terdengar hingga tatapan terkejut yang tidak bisa ditutupi dari karyawan Langit yang mengikuti rapat.

"Saya sedang sibuk," jawab Langit.

"Beri Papa waktu untuk berbicara Langit. Sudah sepuluh tahun, Papa harap kamu tidak lagi menjaga jarak dengan keluargamu."

Langit paham dia sudah menjadi perhatian seluruh penghuni ruangan yang tidak terlalu luas. Bahkan pendingin ruangan disini sama sekali tidak mempengaruhi tubuh Langit. Laki-laki itu justru merasa gerah ingin segera pergi dari ruangan ini.

Langit berniat pergi, tetapi suara papanya kali ini kembali menghentikan pergerakan langkah kakinya untuk menjauh.

"Perusahaan kakekmu membutuhkanmu. Papa sudah terlalu tua untuk menghandle perusahaan sebesar itu seorang diri."

Hanafi yang melihat bahwa pembicaraan ini sudah terlalu jauh mengarah ke dalam permasalahan pribadi, merasa cukup bertanggung jawab untuk mengeluarkan beberapa karyawan yang mengikuti acara rapat.

"Teman-teman kita bisa keluar dulu, kita harus membuat kesimpulan rapat dan membuat plan untuk divisi masing-masing," ucap Hanafi yang diikuti dengan pergerakan karyawan yang keluar ruangan.

Bunyi pintu sudah tertutup dengan sempurna memastikan bahwa tidak ada lagi telinga yang tidak berhak mendengarkan permasalahan keluarganya.

"Bukannya sudah ada Edwin?" tanya Langit. "Keponakan Papa yang penuh prestasi, lulusan luar negeri dan calon istrinya seorang anak diplomat."

"Seluruh pemegang saham meminta Papa membawamu ke Direksi. Mereka memantau pergerakan dan caramu mengelola bisnis sehingga memutuskan bahwa tempat CEO memang pantas disematkan untuk dirimu, bukan Edwin."

Langit menunjukkan senyum miringnya kehadapan Papa. "Bagaimana menurut Papa? Apa Langit sudah cukup pantas berada disana? Langit bukan lulusan luar negri bergengsi seperti yang Papa inginkan."

"Langit, Papa mohon. Apa bisa kita berdamai dengan masa lalu yang tidak terlalu baik? Sudah sepuluh tahun, Papa -," Ada jeda sejenak dalam kalimat Tn. Tengku, menimbang kalimat yang ingin ia keluarkan dari perasaannya yang sudah lama ia pendam.

"Papa merindukanmu. Papa membutuhkanmu," ucap Tn Tengku dengan air mata membasahi pipinya yang mulai keriput.

"Papa sudah tua. Papa sudah tidak kuat jika harus melawan anak muda sepertimu. Papa minta maaf atas semua sikap egois Papa selama ini."

Langit mengalihkan tatapannya. Ia tidak cukup mampu untuk melihat Papanya yang terlihat kuat dari luar namun saat ini terlihat rapuh dan lemah. Ia sangat menyayangi kedua orangtuanya, ia pun juga merasakan kerinduan yang sama.

"Lebih baik Papa pulang. Langit masih ada banyak kerjaan."

Tn. Tengku mengangguk. "Jangan lupa tanggal sembilan belas Mamamu ulang tahun. Papa harap kamu datang ke rumah untuk memberikan kejutan untuknya."

Tn. Tengku berjalan mendekati pintu yang otomatis harus melalui space tempat dihadapan Langit. Laki-laki itu kini masih berdiri dengan kaku tanpa menatapnya. Tn Tengku berhenti di hadapan Langit kemudian memeluk Langit dengan kuat. Tangannya menepuk-nepuk punggungnya dengan kuat. Disela-sela tangisannya, Papa Tengku mengucapkan kalimat yang selama ini ingin Langit dengar.

"Papa bangga sama kamu," ucapnya kemudian berlalu.

Langit mendudukkan tubuhnya ketika lututnya terasa lemas. Pertemuan dengan Papanya yang begitu tiba-tiba membuat Langit melemah. Tidak mungkin selama ini Langit kuat bertahan untuk tidak bersama dengan keluarganya. Sedangkan hanya untuk bertemu dengan Mamanya terkadang Langit harus mencuri-curi waktu agar tidak bertatap muka dengan Papanya. Namun hari ini, setelah sepuluh tahun lamanya Langit kembali dipertemukan dengan Papanya.

Langit tahu, walaupun tidak secara langsung ada di sisinya. Papa Langit selalu memantau setiap pergerakan Langit. Bahkan pernah waktu itu Langit dijebak oleh seorang pengusaha licik yang membuat Langit harus berurusan dengan Polisi. Dan seperti yang Langit tahu bahwa Papanya tidak akan meninggalkannya sendirian, Langit bisa dengan begitu mudah keluar dari jerat hukum. Pertama, karena memang dia tidak merasa bersalah. Kedua, juga karena pengaruh Papanya.

"Lang, lo baik-baik aja?" tanya Hanafi yang memasuki kembali memasuki ruang rapat.

"Gue baik."

"Lang-."

"Ya?" jawab Langit dengan menatap Hanafi yang sekarang ikut duduk di sampingnya.

"Mungkin sudah saatnya lo baikan sama bokap," ucap Hanafi memberanikan diri. "Sudah sepuluh tahun. Lo bukan anak kecil lagi yang ngambek dan susah diatur. Lo Langit yang sudah bisa membuktikan kemampuan lo ke bokap lo."

"Yaa, mungkin memang sudah saatnya gue pulang."

Diantara Langit & SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang