Jelita menyiapkan ruangan poli dokter Aga yang sebentar lagi akan mulai praktek. Menyiapkan komputer dan beberapa instrument medis yang biasa digunakan dokter Aga untuk memberikan perawatan luka pada pasiennya. Setelah siap, ia mengganti nama dokter Aga di pintu depan ruangan poli bedah.
"Kak, dokter Aga udah dateng," kata Runi -junior Jelita yang sama-sama seorang perawat bertugas di poli bedah siang ini.
" Oke, mau lo apa gue yang asisten doi?"
"Kakak aja pawangnya, kalau sama gue dia galak," jawab Runi takut-takut.
"Awalnya doang begitu. Kalau udah lama juga luluh doi, baik. Suka bawain makanan enak," ucap Jelita menyemangati.
"Besok-besok aja deh, sekarang gue asisten dokter Roy dulu," elak Runi.
"Oke, ya udah gue di dalam aja sekalian nunggu doi."
"Oke, kak Jel."
Panggilan aneh yang satu-satunya disematkan dari Runi untuk dirinya. Awalnya Jelita merasa tidak terima tetapi karena sudah terbiasa akhirnya ia mengalah ketika Runi keukeuh memanggilnya dengan sebutan itu. Setelah ia selesai mengganti papan nama Jelita masuk ke dalam ruangan poli menunggu dokter Aga sambil bermain ponsel. Hari ini adalah hari Rabu, poli tidak seramai biasanya.
Nye :
Ta, lo masih marah sama gue?Pesan dari sahabatnya yang ia terima seminggu lalu tetapi belum Jelita balas. Ia marah kepada Anye yang menjanjikan bahwa laki-laki yang tidak bisa ia sebut namanya tidak akan datang ke acara pernikahannya di jam yang sama dengannya. Tetapi justru ia bertemu hingga membuat Jelita malu. Sekarang ini, Jelita yakin bahwa ia sudah tidak memiliki harga diri lagi di depan laki-laki itu. Dan lebih sialnya selama sebulan ini selalu menjadi bunga dalam mimpinya.
Kok gue bego banget sih?
Jelita menarik nafasnya dalam-dalam kemudian menghembuskannya dengan kasar. Bahkan di saat ia bekerja pikirannya masih berkelana ke moment pertemuannya dengan laki-laki itu.
"Mulai yuk, Ta," kata dokter Aga ketika memasuki ruangan poli.
"Oke dokter."
"Kok lemes gitu?" tanya dokter Aga tiba-tiba.
"Nggak apa-apa, dok. Lagi mens aja jadi males," jawab Jelita dengan asal.
Bunyi telefon dokter Aga mengalihkan perhatian mereka berdua. Dokter Aga buru-buru mengecek ponsel miliknya dan terlihat berfikir sejenak.
"Ta, angkatin telfon dari Rega. Bilangin bokapnya lagi kerja," pinta dokter Aga sambil menyerahkan ponselnya. "Biar gue yang panggil pasiennya udah banyak yang nunggu di luar soalnya, mana list antriannya?"
"Nih!" jawab Jelita menyerahkan list antrian ke dokter Aga kemudian menerima ponsel dokter Aga.
Jelita melangkahkan kakinya ke sudut ruangan poli di dekat Jendela kaca besar. Ia menerima telfon Rega sambil menjelaskan kalau Papanya sedang bekerja. Untungnya anak kecil itu paham dengan pekerjaan Papanya, terbiasa ditinggal sejak bayi membuat Rega tidak terlalu sulit untuk memahami jika Papanya sedang tidak bisa diganggu.
Ketika ia kembali menyerahkan ponsel milik dokter Aga, matanya terpaku ke kursi pasien dihadapan dokter Aga. Tubuhnya seketika menegang bersamaan dengan matanya yang terpusat ke arah sosok itu. Diantara ribuan rumah sakit yang ada di Bandung, kenapa dia duduk di dalam ruangan yang sama bersama Jelita? Dia disana, laki-laki itu duduk disana menemani Ibu Erli -pasien dokter Aga.
Jelita bisa melihat keterkejutan yang sama tetapi Langit begitu mudah menetralkan kembali raut wajahnya. Hanya Jelita yang terlalu lemah untuk mencoba mengembalikan logikanya yang tiba-tiba rusak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diantara Langit & Senja
RomanceKeberadaan Jelita menjadi bayangan di belakang seorang Langit dan Senja. Kehadirannya tak berarti, hanya sebagai pelarian Langit dari rasa cinta kepada sahabatnya sendiri. Hingga sepuluh tahun perpisahan keduanya, semuanya tak lagi sama. Sebuah raha...