"Kenapa sewot gitu wajahnya?"
"Lagi mens."
"Selalu itu alasannya, memang perempuan itu sewot hanya karena periodnya datang?" tanya dokter Aga kepada Jelita yang sedang berada di hadapannya.
Jelita baru saja menyelesaikan shiftnya menjelang malam tetapi bukannya pulang, wanita itu justru masih menunggu dokter Aga di polinya dengan masih menggunakan seragam rumah sakit lengkap. Ruangan poli seluas 4 x 4 meter dengan pemandangan langsung ke arah jalan tol yang ramai adalah tempat Jelita mencari rejeki. Di tempat inilah dia bisa mendapatkan teman, pengalaman bahkan dia mendapatkan dirinya sendiri ketika berada disini menolong pasien.
Jelita memperhatikan dokter Aga yang sedang menulis rekam medis pasien, mengisi kondisi pasien terakhir yang baru saja keluar dari ruangannya. Dengan sneli putih yang ia letakkan dengan asal di punggung kursi menyisakan kemeja berwarna putih gading dengan dua kancing atas yang terbuka.
"Kenapa?" tanya dokter Aga sekali lagi setelah ia menyelesaikan pekerjaannya. Manik matanya kini menatap Jelita.
Jelita menghembuskan nafasnya dengan pelan, seperti sedang merangkai kalimat yang ingin ia utarakan kepada dokter Aga. Lalu ia mendekatkan kepalanya ke arah dokter Aga, kemudian berbisik pelan. "Gue kemarin ketemu sama mantan, daaan sesuai instruksi dokter Aga. Gue udah sampaikan segala unek-unek yang selama ini gue simpan di dalam hati."
Dokter Aga tersenyum, menelisik ke arah wajah Jelita yang terlihat lebih santai dari beberapa hari yang lalu. "Keren, terus terus?"
"Tapi sayangnya gue semakin sadar kalau gue masih cinta sama laki-laki itu. Itulah kenapa gue benci banget sama dia karena bagaimanapun rasa itu nggak pernah menghilang."
Dokter Aga tidak memberikan jawaban, laki-laki di akhir dewasa cenderung matang sempurna itu hanya diam seperti menunggu curhatan Jelita selanjutnya.
"Lo pernah pacaran lagi setelah sepuluh tahun yang lalu?" tanya dokter Aga setelah merasa Jelita tak ingin melanjutkan kalimatnya.
Jelita menggeleng, membiarkan mereka berdua dalam keheningan. Kedua tangan yang sebelumnya ia letakkan di meja ia tarik dan kini saling bertautan. Biasanya dokter Aga selalu bisa memberikan masukan-masukan yang bisa membuat Jelita waras. Dokter Aga punya pemikiran yang logis dan tidak suka menye-menye.
"Kenapa?" tanyanya sekali lagi.
Jelita menunduk memperhatikan kedua tangannya yang saling bertaut, sibuk mencari-cari alasan kenapa selama ini ia sulit untuk membuka hatinya contohnya kepada Mas Bagas yang selama ini dekat dengannya. Jelita mencoba mencari tahu dalam isi hatinya sendiri, apa yang sebenarnya menghantui dirinya untuk melangkah menjauh dari masa lalu.
"Mungkin, karena gue takut dok. Gimana kalau gue sakit hati lagi?"
"Ya udah, jalani lagi, bukannya lo udah pernah dan lo udah bisa bertahan. Itu artinya hal itu bukanlah hal yang perlu lo takutin."
"Gue sempat menyerah waktu kembali ke rumah, bahkan berniat untuk menerima perjodohan yang direncakan ibu. Tetapi beruntungnya gue masih diberi sisa kewarasan, gue memilih kembali lagi ke Jakarta dan berjuang lagi untuk kuliah." Jelita sudah mengalihkan tatapannya ke arah dokter Aga yang masih terdiam. "Kalau sampai itu terjadi lagi?"
"Belum tentu terjadi lagi, lo takut dengan hal-hal yang belum tentu terjadi, Ta."
"Tapi bisa saja itu terjadi."
Dokter Aga kini sudah menegakkan tubuhnya, bersiap-siap dengan wejangan yang Jelita tunggu. "Gini deh, lo pilih mencoba membuka hati lo dan menemukan belahan jiwa atau lo lebih memilih terbelenggu sama ketakutan lo dan akan menjadi jomblo seumur hidup?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Diantara Langit & Senja
RomanceKeberadaan Jelita menjadi bayangan di belakang seorang Langit dan Senja. Kehadirannya tak berarti, hanya sebagai pelarian Langit dari rasa cinta kepada sahabatnya sendiri. Hingga sepuluh tahun perpisahan keduanya, semuanya tak lagi sama. Sebuah raha...