BAB 4 - Jelita.

5.5K 372 6
                                    

Suara detak jantungnya berpacu saling beradu dengan nadinya yang bekerja lebih cepat. Tubuh Jelita menegang bersamaan dengan sapuan lembut pada bibirnya yang terasa asing. Dengan jarak yang terkikis, Jelita bisa mencium aroma wangi yang keluar dari tubuh atletis milik Langit. Langit sudah mencuri ciuman pertamanya, seseorang yang sama sekali tidak pernah ada di dalam bayangan Jelita untuk sekedar dekat dengannya. Tetapi kini laki-laki itu dihadapannya, menuntut sesuatu yang sangat Jelita jaga. Bibir itu melekat, mencuri semua nafas yang ada di sekitar Jelita.

Langit menerobos masuk ke dalam kehidupannya yang biasa-biasa saja, membawa rasa lain yang sama sekali belum pernah Jelita rasakan sebelumnya. Ada sebagian hati kecil Jelita yang menolak tawaran rona kehidupan berbeda dari Langit, tetapi sebagian besar nalurinya sangat menginginkan itu.

Bayangan perilaku rata-rata teman Jelita yang memang mayoritas adalah orang parlente tiba-tiba muncul, menggerakkan Jelita untuk menolehkan wajahnya menghindari gerakan bibir Langit yang mulai menuntut. Tangannya ia letakkan di dada bidang milik laki-laki yang kini menatapnya dengan raut wajah tidak suka.

"Kenapa?"

Jelita terdiam sesaat, menggigit bibir bagian bawahnya karena cemas. Matanya berlarian menghindari tatapan menusuk dari Langit sedangkan pikirannya mencoba mencari berbagai alasan untuk menjawab pertanyaan Langit.

Bukankah Langit berbeda dari orang-orang kaya lainnya? Langit ada disana untuk melindunginya, Langit berbeda. Batin Jelita dalam hati.

"Aku belum bisa melakukan itu, Kak," cicitnya.

"Kenapa? Kita pacaran." Ketidaksukaan sangat kentara diperlihatkan Langit, laki-laki itu marah dengan penolakan Jelita.

Langit menggenggam tangan Jelita lalu meletakkannya di atas paha milik wanita itu yang terlihat semakin memojokkan tubuhnya untuk menghindari Langit. Tetapi sayangnya, Langit bukanlah tipe orang yang pantang menyerah. Tangan Langit bukan hanya menggenggam tetapi juga menekan tangan Jelita agar tidak bergerak melawannya. Ia semakin memojokkan tubuhnya untuk menghimpit tubuh Jelita yang terlihat takut namun Langit tetap merapatkan tubuhnya untuk bersentuhan dengan tubuh gadis dihadapannya.

"Kak, aku mohon aku belum bisa."

Sekali lagi Langit mencoba mencium pipi Jelita dan seperti tak mau mengalah Jelita kembali menghindari cumbuan Langit. Dengusan nafas kasar terdengar, Langit kembali duduk di tempatnya semula dengan tatapan mengarah ke depan. Ia enggan menatap Jelita. Langit sadar, mungkin ia yang terlalu terburu-buru meminta sesuatu dari seorang gadis polos seperti Jelita.

"Ck,, ya sudahlah kita pulang," putus Langit setelahnya.

Tangan Langit dengan cekatan mengganti perseneling kemudian menginjak gas yang berada di bawah kemudi. Dengan perasaan malas ia berjalan menyusuri kota Jakarta yang mulai beranjak pagi. Sedangkan Jelita hanya diam duduk di kursi penumpang dengan tangan yang saling bertaut cemas. Jelita takut jika tiba-tiba Langit memutuskan hubungan dengannya, padahal ia sudah mulai merasakan nyaman berada di sisi laki-laki itu. Langit melindunginya dari anak-anak yang suka mengganggunya, Langit mengisi hari-harinya yang biasanya kosong.

"Kak," panggil Jelita lirih. Ia memberanikan diri mengambil pehatian laki-laki itu.

"Hemm."

"Aku ... Aku, maaf jika mengecewakanmu. Semua ini terlalu cepat dan terlalu banyak untukku."

"Kita pacaran, Ta. Gue harap lo harus mulai terbiasa dengan hal itu."

"Tapi --."

"Lo bilang belum siap? Oke, gue bisa terima. Intinya belum siap kan?"

"Maksudnya?"

"Ya BELUM. Artinya suatu saat lo harus tetap memberikan 'itu' buat gue. Interaksi semacam itu sudah pasti diminta lelaki kepada kekasihnya. Gue yakin lo cukup dewasa untuk mengetahui hal itu."

Diantara Langit & SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang