Nayla berusaha untuk tetap kuat agar bisa melakukan pekerjaannya dengan benar. Setidaknya ia sudah beristirahat sejenak saat pengunjung sedang sepi dan sekarang hanya tinggal setengah jam lagi agar ia bisa pulang ke rumah.
Para pekerja di cafe ini sangat baik dan ramah membuat Nayla sedikit betah disini. Kenapa hanya sedikit? Tentu saja karena Adam. Selagi dia tetap stay di cafe ini, Nayla tidak akan pernah tenang.
Setengah jam sudah berlalu, Nayla dan para pekerja lainnya bersiap untuk pulang. Sebelum pulang, Nayla berganti pakaian kembali. Tidak mungkin ia pulang ke rumah dengan pakaian seperti itu, bisa-bisa akan menjadi bahan ejekan dan itu akan berlangsung lama.
Setelah mengganti pakaiannya, Nayla berpamitan pada pekerja lain. Ia mengambil tas lalu pergi keluar cafe diikuti Amelia di belakangnya.
"Lo pulang sama siapa, Mel?" tanya Nayla. Ia menaiki motor besarnya saat sudah memakai jaket beserta celana hitamnya.
"Pulang sendiri lah," jawab Amelia ngegas.
Nayla menepuk jidatnya. "Maksud gue lo pulang pakai apa gitu."
"Jalan kaki aja gue mah. Deket kok dari sini."
"Bareng gue aja kalo gitu, nggak baik cewek kayak lo jalan sendirian apalagi tengah malem. Ayok," ajak Nayla.
Amelia menurut, ia menaiki motor besar milik Nayla.
Nayla menghidupkan mesin motor dan mulai menjalankannya. Biarpun sekarang sudah mau tengah malam, jalan raya tetap ramai oleh kendaraan yang berlalu lalang.
"Kenapa lo nggak pesan ojek online atau naik angkot aja?" tanya Nayla.
"Nggak deh, gue lebih milih jalan kaki ketimbang yang lo bilang. Lagian ojek online itu mahal, lebih baik uangnya gue tabung begitupun kalau gue naik angkot. Kan sayang uangnya, biarpun nggak seberapa kalau gue tabung terus menerus bakalan jadi banyak nantinya," jelas Amelia sedikit keras agar Nayla bisa mendengarnya akibat suara kendaraan yang berlalu lalang sangat berisik.
"Iya gue tau. Kalau lo ngomong kayak gitu waktu siang atau sore gue oke oke aja. Masalahnya ini malam Amel, lo nggak mikir kalau nanti ada preman atau orang jahat yang hadang lo di jalan gimana? Heran gue sama lo," ujar Nayla kesal.
"Biasanya gue pakai sepeda sih, cuman sepedanya lagi rusak. Mau bilang sama ayah takut ngerepotin, soalnya ayah pasti capek pulang kerja."
"Ayah lo kerja apa?"
Pertanyaan kali ini membuat Amelia sedikit terdiam. Apa jika Nayla tau pekerjaan Ayah-nya, Nayla akan tetap berteman dengan dirinya?
"Pemulung," lirih Amelia. Matanya berkaca-kaca mengingat betapa susahnya Ayah mencari nafkah untuk dirinya dan juga Ibu. Oleh karena itu ia bekerja di cafe agar bisa meringankan beban sang Ayah.
"Lo nggak malu temenan sama anak pemulung 'kan?" lanjutnya dengan nada serak.
Nayla tertawa. Bagaimana bisa Amelia berpikiran bahwa dirinya memandang status pekerjaan orangtua?
"Nggak lah? Ngapain malu. Ayah lo itu pekerja keras, demi Istri serta anaknya Ayah lo mau bekerja sebagai pemulung, untuk memenuhi tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga."
KAMU SEDANG MEMBACA
DON'T WORRY
Ficção Adolescente{Follow Sebelum Membaca} Nayla harus kehilangan segalanya hanya karena kesalahpahaman. Di mulai dari kepercayaan sang Ayah, kedua Abangnya, hingga kehilangan kasih sayang sang Ibu. Keluarganya terus membandingkan Nayla dengan kembarannya Neysha ya...