Fase Tujuh

281 37 7
                                    


I've got scars
Even though they can't always be seen
And pain gets hard
But now you're here and I don't feel a thing

Now playing
If I Could Fly - One Direction

Cowok berjas hitam itu melamun. Menatap kosong proyektor di depannya yang menampilkan diagram beserta denah sebuah lokasi. Tangannya sibuk memainkan pulpen. Suara Ayahnya seperti blur di telinganya.

"Jaeden?" Panggil seorang laki-laki yang mempunyai wajah mirip sepertinya namun terlihat lebih tua.

Yang dipanggil masih sibuk melamun. Salah satu asisten Ayahnya yang berada di sampingnya menyenggol lengan Jaeden yang langsung membuat cowok itu terperangah.

Ia menegakkan punggung, membenarkan posisi duduk.

Ayahnya menatapnya tajam. Dirinya menoleh ke asisten Ayahnya yang menyenggolnya tadi untuk mengetahui apa yang sedang dibicarakan barusan. Lelaki dengan rambut tersisir rapi itu membisikkan sesuatu pada Jaeden.
"Pak Direktur bertanya soal pembangunan Mall baru di daerah pinggiran kota."

Cowok itu menelan salivanya. Sekilas ia melihat slide presentasi di depannya. Cowok itu menatap seluruh peserta rapat.

"Saya kurang setuju dengan wacana ini." Ia memberi jeda dua detik untuk melihat reaksi Ayahnya. "Kalau dilihat, daerah itu memang strategis karena tidak ada tempat hiburan dan belanja di sekitarnya.  Kita dapat meraup keuntungan yang sangat besar dengan membangun pusat perbelanjaan disitu. Tapi di sisi lain, lahan kosong yang menjadi target Direktur Antoni tadi adalah tempat hidup bagi penduduk Kecil. Kalau kita menggusur lahan itu secara paksa, maka mungkin mereka tidak memiliki tempat tinggal lagi,"

"Kenapa kita peduli mereka mau tinggal dimana? Itu bukan urusan kita." Ayah Jaeden memotong pembicaraannya.

"Saya belum selesai bicara Direktur, tolong jangan potong perkataan saya." Telak, Ayah Jaeden terdiam dengan muka memerah.

"Merasa tanah mereka diambil, saya yakin rakyat setempat tidak akan diam saja. Penggusuran secara paksa akan menimbulkan perlawanan dari mereka. Kita akan mendapat permasalahan baru karena itu."

"Tapi permasalahan seperti itu sudah biasa terjadi. Kita bisa selesaikan dengan jalur uang." Salah satu peserta rapat menyahuti.

"Saya tahu. Tapi apakah itu bisa menjamin image Lieberher Company bisa tetap baik di mata masyarakat? Dengan penggusuran paksa dan pengusiran sama saja kita sudah menurunkan nama baik Lieberher Company sendiri. Kita sebagai petinggi yang selalu berkampanye tentang pemerataan ekonomi dan bersedia menyejahterakan hidup rakyat kecil bisa ditertawakan oleh mereka. Mereka akan berpikir kalau kampanye kita hanya pencitraan belaka. Selain itu, penggusuran lahan akan menimbulkan banyak pro dan kontra, dan kalau berkepanjangan saya pikir sangat mungkin terjadi boikot produk. Kerugiannya akan berlipat ganda. Sektor pemasaran produk lain bisa terganggu karena masalah ini. Lagipula, masyarakat sekitar pun akan berpikir dua kali untuk berbelanja di Mall baru. Kepercayaan konsumen tidak lagi di tangan kita."

Beberapa peserta rapat tampak saling berbisik. Sedangkan Jaeden menatap mereka dengan was-was, harap-harap cemas alasannya akan di setujui. Karena dengan begitu ia bisa melindungi tanah seluas beberapa hektar itu agar aman dari penggusuran.

◇◆◇

Kalila berpegangan pada jaket Caleya erat-erat. Pasalnya gadis itu ngebut dengan kecepatan kurang lebih 80 Kilometer per jam. Mana sekarang hujan lagi. Kalila jadi membayangkan yang tidak-tidak.

"Caleya, jangan cari mati dong cal!" Percuma. Mau Kalila teriak sekeras apapun Caleya nggak bakal dengar. Suaranya teredam oleh gemuruh air hujan. Mau tak mau ia hanya bisa merunduk di punggung Caleya sambil memegangi jaket sahabatnya itu erat-erat.

ARTERI (A1- ARKA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang