Fase Limapuluh delapan

142 28 13
                                    


When you said your last goodbye
I died a little bit inside
I lay in tears in bed all night
Alone without you by my side
But if you loved me
Why did you leave me
Take my body
Take my body

Now Playing
All I Want - Kodaline

Kalau kehancuran seseorang bisa dinyatakan dalam persentase, mungkin sekarang cowok ini sudah mencapai fase limit. Hanya tinggal 10 persen mungkin. Penampilannya sama sekali tidak menunjukkan semangat hidup. Celana jeans nya kotor terkena cipratan lumpur, jaket denim nya juga robek di beberapa bagian, dan mungkin ada 4 atau 5 luka lebam di wajah dan tangannya. Raut mukanya tak kalah menyedihkan, atau malahan tak bisa di definisikan. Dia tertawa namun di detik selanjutnya menangis seperti kehilangan harapan. Sesekali meracau tak jelas, membuat orang orang takut untuk berjalan di sebelahnya. Pupil mata nya membesar menandakan dia 'minum' terlalu banyak. Kalau bukan karena parasnya yang menonjol mungkin dia sudah di cap sebagai orang gila.

Mungkin kata 'bahagia' tak pernah cocok untuknya. Rasanya baru sebentar dia mengerti definisi bahagia-nya. Baru sebentar dia merasa hidup. Namun otaknya juga berpikir kalau lamanya dia merasa bahagia tak akan menjamin hidupnya berubah menjadi lebih baik dari sekarang. Karena bahagia-nya bukan tentang seberapa lama, tapi tentang siapa. Kalau dulu arteri nya ada bersamanya, menyalurkan kebahagiaan ke seluruh tubuh, maka kini arteri nya telah pergi. Denyut nya tak lagi ada. Mau tak mau dia harus kembali berkata 'selamat datang' pada luka dan rasa sakit. Pada dirinya yang kembali merasa mati. Dirinya yang bernafas tanpa arteri.

Tiga orang cowok memandang Jaeden dengan segala kondisi menyedihkannya itu dengan tatapan prihatin. Sama sekali tak menyangka hidup temannya yang selalu disangka mentereng di mata publik itu bisa sekacau ini. Ibunya meninggal, Ayah yang gila kekuasaan, serta pacarnya yang hilang entah kemana. Dan kalau kejadian baru-baru tadi bisa ditambahkan, Jaeden juga habis di dorong keluar dari pintu bar setelah dipukuli habis-habisan.

"Cuma satu orang yang bisa bikin dia sadar." Komentar Noah. Cowok itu menyimpan tangannya di saku celana. Matanya menatap Jaeden dengan luka lebam dan bercak darah di bibirnya dengan tatapan iba.

Keenan mengangguk. "Gue udah cek data keberangkatan di terminal ataupun stasiun. Dan hasilnya nihil. Gue rasa Caleya sengaja nggak ninggalin jejak apapun karena nggak mau dicari."

Galen menghela napas.

"Kita bahas Caleya nanti lagi, sekarang urus ni anak sebelum makin ngawur gebukin orang." Tegur Galen.

◇◆◇

Jaeden terbangun di ranjang berukuran besar kamar megahnya keesokan harinya. Kepalanya pening luar biasa karena kebanyakan minum semalam. Namun setelah kesadarannya kembali, bukan hanya kepala pening yang ia rasakan, sekujur badannya yang terasa nyeri juga turut masuk daftar.

Cowok itu memejamkan mata menyadari dirinya sudah berada di dalam rumah. Realitanya sebagai putra tunggal keluarga ini kembali membawanya ke masa-masa kelam dalam hidupnya.

"Udah sadar lo?" Pertanyaan dengan nada sengak itu merasuk ke telinganya sesaat setelah matanya terbuka sepenuhnya. Suara cewek, serak basah.

"Dengan cara apa lo sampai di kamar gue al?" Mulut Jaeden tak bisa sepenuhnya terbuka karena bibirnya penuh luka lebam.

"Ngilang! Terbang! Apa aja terserah!"

"Lo lihat muka lo tuh, gila ya lo jae, lo nggak niat hidup?" Tambah Alexa. Kalau kondisi Jaeden tidak seburuk ini, pasti tangannya sudah melayangkan geplakan maut.

ARTERI (A1- ARKA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang