Fase Sebelas

255 30 3
                                    

Happy reading!

It's hard when we argue
We're both stubborn
I know, but oh
Sweet creature, sweet creature
Wherever I go, you bring me home

Now playing
Sweet Creature - Harry Styles

Kalau ada yang Jaeden ingin hindari di hidup ini hanya satu. Perasaan bersalah.
Sekuat apapun dia mencoba untuk tidak peduli, perasaan bersalah selalu membayanginya, lebih dari separuh hidupnya, perasaan bersalah selalu merajamnya. Menimbulkan rasa yang tak bisa ia definisikan. Tidurnya tak tenang, bahkan ia tak bisa melakukan apapun dengan benar. Seperti sekarang ini, perasaan bersalah itu mulai datang. Mengacak-acak isi kepalanya.

Cowok dengan rambut basah acak-acakan sehabis keramas itu mendengus. Ia membanting buku Kimianya. Percuma saja ia mencoba belajar ber jam-jam, kalau Caleya terus saja menari-nari di kepalanya. Kalau dia punya kekuatan untuk memilih akan memikirkan apa, pasti ia sudah membuang nama Caleya dari otaknya. Pasalnya, setelah dia membentak Caleya sore tadi, Jaeden tak henti-hentinya memikirkan keadaan Caleya.

Jaeden akui, dia memang kasar tadi. Dia emosi karena Papanya, tapi setelah tersadar ia barusaja membentak seseorang, terlebih orang itu adalah Caleya, perasaan bersalah itu mulai muncul. Ia pergi mencari cewek itu ke bawah dan melihat cewek itu duduk di undakan tangga, sedang menangis.

Sebenarnya Jaeden ingin menghampirinya dan meminta maaf, tolong digaris bawahi, demi kelegaan hatinya dari perasaan bersalah. Namun cowok dengan ego setinggi stratosfer itu masih punya muka, dia kan baru saja membentak cewek itu, bisa-bisa nanti Caleya memandang Jaeden rendah atau malah mencak-mencak dan menimbulkan kerumunan. Alhasil, cowok itu hanya memandangi Caleya dari jauh, dan membuntutinya sampai pulang, memastikan cewek itu benar-benar sampai rumah dengan selamat tanpa nubruk orang di jalan.

Cowok itu mendengus, harusnya tadi gue minta maaf aja habis itu kelar urusannya. Ia ngedumel dalam hati. Emosinya naik beberapa persen saat melihat Keenan, yang sedang rebahan di sofa kamarnya malah senyam senyum melihat kertas dengan gambaran wajah seseorang cewek, sedangkan mulutnya berisik telfonan dengan cewek lain. Dasar playboy! Batinnya.

"Kalau lo kesini mau numpang rebahan, gue rasa sofa di rumah lo juga empuk!" sindir Jaeden.

Keenan menoleh sebentar, kemudian kembali melanjutkan percakapan dengan orang di seberang telefon.

"Badan gue emang nggak segedhe lo, tapi gue masih kuat nendang lo keluar dari kamar gue!"

Keenan berdecak. Mematikan sambungan telefon.

"Lo kenapa sih? Dari tadi gue lihat nggak ada cerahnya tu muka!"

Jaeden diam sejenak. "Caleya tadi denger Papa marahin gue." Ucap Jaeden memalingkan muka. Pikirannya berubah menjadi takut kalau gadis itu membeberkan bagaimana papanya memperlakukannya tadi. Jaeden tak suka kalau kehidupan pribadinya di ketahui banyak orang.

Keenan nampak sedikit terkejut namun dengan cepat ia kembali menetralkan ekspresinya. "Emangnya Papa lo kenapa lagi?"

"Dia mau ngratain griya mentari, Papa tau kalau gue masih sering kesana."

"Gimana kalau Caleya ceritain itu di depan semua orang?" Lanjutnya.

Keenan kini menatap serius sahabatnya itu. Sudah bersama sejak masih kecil membuatnya tahu apa saja yang sudah Jaeden lalui.

"Gimana hasil rapatnya?" Tanyanya to the point, ia tahu betul dunia perbisnisan.

Jaeden menghela napas. "Semua kolega Papah setuju sama gue. Griya mentari nggak jadi di ratain. Tapi kalau Papah tau gue kesana lagi, gue takut Papah bakal ngelakuin sesuatu yang buruk."

ARTERI (A1- ARKA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang