Fase Limapuluh

170 30 28
                                    


Hai? Lama nggak up ya? Wkwk..

Gue persembahkan part panjang ini buat kalian.. Di part ini kalian tahu alasan Jaeden mencampakkan Caleya, cieelah..

Oh ya, mulai sekarang panggil gue Rara aja ya, jangan panggil "kak" karena gue baru 17 tahun besok februari. Dan jangan panggil gue "Thor" soalnya gue nggak bisa ngangkat Mjolnir (maunya dipanggil Mrs. Odinson aja wkwk)

Anw, happy reading!


You are my sunshine
My only sunshine
You make me happy
When skies are gray
You'll never know, dear
How much I love you
Please don't take my sunshine away

Now playing
You are My Sunshine - Christina Perry version





Singapura, 29 November

Sepatu pantofel hitam mengkilap milik Jaeden beradu dengan lantai ruangan bergaya klasik modern itu berkali-kali. Matanya gusar menelusuri sekitar. Tak terbilang berapa kali ia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya.

Padahal ia baru tiba di Singapura dua jam lalu. Belum sempat ia merebahkan badan, Jaeden harus kembali bersiap untuk menghadiri makan malam dengan rekan Papanya. Rekan penting, itulah yang dikatakan Antoni. Padahal Pak Hamid tadi mengatakan makan malam ini hanya akan berlangsung selama satu jam, tapi sekarang sudah lebih tigapuluh menit dan makan malam itu belum juga usai.

Yang membuat Jaeden makin kesal lagi, makan malam penuh basa-basi nggak penting baginya ini sangat mendadak. Bahkan Pak Hamid nggak mengatakan kalau akan ada makan malam semacam ini setibanya ia di Singapura, karena memang tujuan awal terbang ke Singapura bukan untuk itu, melainkan untuk menemani operasi Marisa, Mamanya. Tapi walau ia melontarkan alibi atau penolakan sekalipun, keinginan Antoni tetap tak bisa diganggu gugat. Ia tetap berakhir menghabiskan waktunya sia-sia menyaksikan perbincangan Antoni dengan rekan Papanya itu. Tanpa ditemani ponsel, karena Antoni membuang Handphone-nya sebelum penerbangan tadi. Lebih buruknya lagi, Antoni memblokir akses black card nya.

Harusnya, gue di rumah sakit nungguin Mama. Kurang lebih itulah inti dari pemikiran Jaeden.

Keberangkatannya siang tadi memang terbilang begitu mendadak, karena Antoni nggak membetitahunya soal operasi Mamanya di Singapura. Setibanya ia di rumah setelah menemui Caleya di makam Papanya, baru Antoni memberi tahu. Penerbangannya satu jam lagi. Ia bahkan tak sempat berpamitan dengan Caleya ataupun ketiga temannya. Hapenya juga sudah di buang duluan. Entah bagaimana kondisi cewek itu sekarang. Mungkin Jaeden akan menjelaskan semuanya setelah pulang ke Indonesia.

"Jaeden.." Panggilan lirih Antoni nyaris tak terdengar karena Jaeden gusar. Ia menoleh nggak minat.

Antoni balas menatap tajam.

"Bagaimana sekolahnya Jaeden? Masih sering ikut olimpiade?" Tanya rekan Antoni, wajah China tulennya nampak ramah, aksen Indonesianya juga tak begitu fasih.

Jaeden hanya mengangguk dan tersenyum kecil. Pikirannya melayang jauh. "Baik ko"

"Aa ya, kenapa harus ditanya lagi, kamu kan anak didik saya yang paling pintar dulu.." Lelaki yang dua tahun lebih tua dari Antoni itu terkekeh. Antoni juga tertawa kecil. Hanya Jaeden yang diam di meja itu.

"Akhir akhir ini saya malah merasa prestasinya menurun ko, Jaeden banyak main-main, dia juga sudah jarang ikut olimpiade seperti dulu.."

Jaeden mendengkus. Selain egois, Papanya juga pintar mengarang.

"Dia malah banyak main-main dengan teman A four nya, bahkan main dengan anak biasa, peduli sosial."

Ko Hao nampak terkejut. Sedangkan mood Jaeden semakin buruk. Ko Hao memang ramah, tapi hanya dengan orang yang sederajat dengannya. Ia penganut sistem kasta, sama seperti Antoni. Mereka beranggapan bergaul dengan orang biasa hanya akan menyusahkan dan membuat mereka gampang dipengaruhi.

ARTERI (A1- ARKA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang