Fase Delapanbelas

218 30 12
                                    

You are a work of art
But you didn't think you'd come this far
Now, here you are
Baby, you are strong
You are wise
You are worth beyond a thousand reasons why
And you can't be perfect, baby
'Cause nobody's perfect, darling
But no, no, no, no, there's nobody in the world, like you

Now playing
Like you - Tatiana Manaois

Caleya melamun tak jelas. Bahkan memukul kepalanya berkali-kali. Untung saja dia di kelas sendirian. Soalnya murid lain berada di halaman sekolah melihat demo ekstrakurikuler. Termasuk Aura dan Kalila yang terlampau semangat. Bahkan mereka sudah tahu mau ikut ekskul apa.

Antariksa International high school merekrut siswa yang ingin ikut ekskul di semester dua. Karena semester satunya digunakan untuk penyesuaian kurikulum sekolah yang sedikit berbeda karena sekolah ini berbasis internasional. Walau begitu, hal ini tetap disambut antusias oleh murid-murid Antariksa terlebih yang kelas sepuluh. Kecuali seorang cewek dari kelas 10 Mipa 2 ini.

Caleya menatap apapun di sekelilingnya. Sepi banget suasana kelas. Iyalah, orang dia sendirian. Tapi Caleya juga nggak mau ikut dua sohibnya menonton demo ekskul. Bukannya nggak minat, tapi kemungkinan besar dia nggak ikut karena terlalu sibuk. Cewek itu beberapa hari lalu mendaftar kerja paruh waktu tambahan. Uang bulanan dari Bang Fadhil nggak cukup untuk kebutuhannya. Apalagi Bundanya juga harus melunasi hutang-hutang.

Gadis itu mengabsen sekeliling kelas. Memukul kepalanya lagi, dan menghela napas. Ia pengen menendang anggapan bahwa Jaeden nggak seburuk itu dari kepalanya. Namun gagal. Otaknya kembali memutar ulang kejadian kemarin sore.

Jaeden menarik tangan Caleya. Cewek itu cengo. Ini Jaeden nggak berubah aneh gara-gara meluk Caleya tadi kan?!

Rupanya ia membawa Caleya mendekat pada wanita di kursi goyang. Tatapan cowok itu berubah sendu. Cowok itu berjongkok di depan Wanita tersebut. Mau tak mau Caleya mengikutinya.

"Dia mama gue.. "

Caleya terkejut. Nggak tahu mau merespon apa.

Jaeden menatap lantai. "Lo pasti daritadi bertanya-tanya kenapa dia kayak gitu kan? Dan kenapa gue disini,"

Caleya melihat Jaeden yang kini tampak berbeda. Sepertinya pertanyaan yang berputar di kepalanya tadi akan segera terjawab. "Kenapa?"

"Gue juga nggak tahu, nggak ada yang tahu. Mama berubah jadi kayak gini setelah kematian Jingga"

Caleya mengerutkan alis. Dia pernah mendengar nama Jingga disebut saat Papanya Jaeden memarahinya waktu di kantor dulu.

"Jingga?"

"Jingga itu kembaran gue. Dia meninggal sembilan tahun lalu karena kecelakaan." Jaeden menjeda ucapannya untuk menghela napas. "Sejak saat itu Mama sering berantem sama Papa, Mama sering stress dan ngamuk."

Cowok itu masih belum berani mengangkat kepala. "Mama masih belum bisa percaya kalau Jingga udah nggak ada."

Caleya hanya bisa diam. Seluruh anggapan kalau Jaeden itu makhluk paling nggak pedulian dan semena-mena mendadak sirna dari otaknya. Cowok itu punya sisi lain yang begitu kelam.

"Karena kondisi Mama yang kayak gini, keluarga Papah dan Papah sendiri merasa malu. Mereka malsuin kematian Mama."

Caleya meneguk salivanya.

"Jadi media tahunya Mamah udah meninggal, padahal Mamah masih hidup, tapi dengan kondisi yang kayak gini.."

Caleya menyentuh bahu Jaeden. Jaeden memang sering mengganggunya bahkan membuat hidupnya nggak tenang. Tapi cewek itu masih berhati manusia. Dia nggak bisa lihat orang lain sedih seperti ini.

ARTERI (A1- ARKA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang