Fase Duapuluhsembilan

184 28 38
                                    


Hai all, i'm back. Apa kabar? Tolong baca author note dibawah ya..

Happy reading!

I'm sorry if I say, "I need you"
But I don't care, I'm not scared of love
'Cause when I'm not with you, I'm weaker
Is that so wrong? Is it so wrong
That you make me strong?

Now playing
Strong - One Direction

Caleya menegang mendengar ucapan Jaeden. Ia bisa mengetahui cowok itu memejamkan mata di pundaknya. Mungkin ia memiliki begitu banyak beban sampai terlihat selelah ini.

Tangan Caleya merentang di punggung Jaeden, kemudian menepuk-nepuk pelan tapi menenangkan. "Maaf gue belum bisa nepatin omongan gue buat bikin kondisi Tante Marisa membaik." ada penyesalan di nada bicara Caleya.

Jaeden mengangguk di pundak Caleya. "Gue minta tolong lagi," Cowok berkemeja hitam itu menggantung ucapannya. "Lo bisa bikin kondisi gue membaik. Gue cuma minta pundak lo aja."

Caleya semakin menegang dibuatnya. Ia menggigiti bibir pink nya.

"Emang lo ada masalah apa sama Papa lo?"

"Banyak" singkat Jaeden.

"Yang tadi pagi..?"

Jaeden membenarkan posisi kepalanya. "Gue cuma di pukul karena beda pendapat dan nggak fokus waktu meeting." Cowok itu menunjuk pipinya, masih dengan mata tertutup, santai sekali. Mengatakan dipukul Papanya dengan kata 'cuma'.

Caleya memandang cowok yang kini bersender di bahunya itu dengan tatapan iba.

"Jangan ngelihatin gue kayak gitu, gue nggak suka di kasihanin."

Caleya buru-buru mengoreksi tatapannya. Ia kembali menepuk-nepuk bahu Jaeden. Entah ia dapat dorongan dari mana untuk melakukan itu. Caleya hanya merasa sekali-kali ia perlu mengikuti kata hatinya.

"Gue nggak ngasihanin lo. Gue heran aja kenapa Papa lo sering kayak gitu.." Caleya meringis, merasa salah ucap.

"Gue yang anaknya aja nggak tau."

"It's okay, gue tahu lo capek. Lo bisa istirahat sekarang. Baru nanti lo bisa lanjut berjuang lagi." Hanya itu yang Caleya bisa katakan. Ia cukup tahu beban cowok itu, tapi untuk menyemangati atau memberinya solusi, ia nggak punya kata-kata yang pas. Mungkin Jaeden sendiri juga sudah muak dengan kata semangat, mungkin ia hanya butuh sandaran dan istirahat dari isi kepalanya yang begitu berisik.

"Kepalanya udah gue silent mode biar nggak berisik." Caleya mengusak rambut cowok itu pelan. Untuk pertama kalinya.

Ini yang biasanya ia lakuin kalau Kalila lagi sedih. Dan hal itu berlaku sama untuk Jaeden kan? Kalau Jaeden mau berbaikan dengannya, seenggaknya ia bisa jadi teman sekaligus pendengar yang baik. Tolong catat dengan cetak tebal, seorang teman.

Jaeden mengulum senyum di bibir manisnya. Ia menyamankan posisi kepala. Masih dengan mata terpejam. Jantungnya mulai berpacu normal. Tak seperti saat Caleya menepuk pundaknya tadi. Perlahan rasa kantuknya mulai tiba, melahapnya pergi ke alam mimpi, dengan pundak Caleya sebagai bantalan.  Caleya juga tak protes. Cewek itu malah ikutan memejamkan mata. Berada di dekat Jaeden membuatnya merasa nyaman.

Dua puluh menit berlalu, dua manusia yang dulunya saling memusuhi itu terlelap dengan posisi saling menyender. Melupakan tugasnya menjaga Marisa. Tak menyadari sedikitpun gerakan mata Marisa yang berkedip dua kali.

Alexa memasuki rumah, kalau tidak menahan diri, cewek berbaju serba hitam dengan heels tinggi hasil morotin sepupu konglomeratnya itu pasti sudah tertawa keras. Alexa bertanya-tanya, apakah Caleya dan Jaeden sudah jadian?

ARTERI (A1- ARKA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang