39| Tamparan keras

8.5K 327 7
                                    

"Gue... gue sebenarnya—"

Namun belum sempat Gio meneruskan kalimatnya, Kaisha tiba-tiba saja bersin di hadapan mukanya, membuat pria itu langsung memasang raut wajah datar.

Kaisha hanya menyengir. Lalu saat tersadar bahwa ia masih disambut oleh Gio, Kaisha langsung melotot lalu segera melepaskan tangan Gio dari pinggangnya.

Gio berdehem, "Maaf." Kaisha hanya mengangguk lalu menyisipkan rambutnya ke belakang telinganya.

Namun Kaisha tiba-tiba kembali bersin membuat Gio yang berada di sampingnya langsung memeriksa suhu tubuh Kaisha.

"Badan lo udah enggak panas. Apa lo flu karna makan es krim tadi?" Kaisha langsung menggeleng, pura-pura tidak tahu.

"Ayo pulang."

"Tapi kita—"

"Pulang sekarang. Kalo kondisi lo memburuk gimana? Nanti gue yang disalahin." Kaisha akhirnya mengangguk dengan pasrah lalu mereka pun berjalan beriringan menuju ke mobil.

Singkatnya, mereka akhirnya tiba di rumah. Kaisha melihat tidak ada mobil ayahnya terparkir di garasi yang menandakan ayahnya belum pulang ke rumah.

"Cari siapa?"

Kaisha menggeleng, "Bukan apa-apa."

Mereka kemudian turun dari mobil lalu masuk ke dalam rumah. Bu Minah langsung menyambut kedatangan mereka berdua.

"Kok perginya cuma sebentar Non?"

"Kaisha tiba-tiba flu Bi, makanya kita pulang cepet."

"Yaudah, Kaisha ke kamar dulu ya, Bibi mau ambil obat sekalian nelpon Bapak dulu." Kaisha lantas mengangguk lalu berjalan menuju ke kamarnya, sementara Gio masih setia mengikutinya dari belakang.

"Lo pasti flu gara-gara makan es krim tadi 'kan?" tebak Gio saat mereka tiba di kamar Kaisha.

Gadis itu menggeleng, "Enggak kok." Gio menatap Kaisha dengan serius membuat gadis itu langsung memalingkan wajahnya.

"Orang gue bilang enggak, malah enggak percaya."

Gio duduk di sofa lalu bersandar. "Terus, kenapa lo larang gue ngasih tau bokap lo?"

"Biar dia enggak ngomel mulu."

***

Damian memasuki kamar mereka. Samar-samar ia mendengar suara Rania sedang menangis.

Damian pun menghidupkan lampu kamar mereka lalu terkejut saat menemukan Rania sedang menangis seraya memegang sebuah pisau di pojok kamar.

"Ra, kamu ngapain di situ? Sini. Buang pisau itu, bahaya."

"Enggak! Kenapa Mas dateng ke sini, bukannya Mas sibuk?!" Rania membentak.

Ardan yang mendengar suara bentakan Rania dari luar segera masuk lalu ikut terkejut saat melihat ibunya yang berada di pojok kamar.

"Ra, kita bisa bicarain ini baik-baik Sayang,"

"Enggak, aku enggak mau! Kamu pergi aja! Aku 'kan enggak penting di hidup kamu!"

"Ma, mama ngomong apa sih?"

"Abi juga! Bukannya Abi lebih bela anak itu dibanding Mama?!"

"Enggak, Mama itu lebih penting bagi Abi. Mama juga segalanya bagi Abi. Udah ya Ma, buang pisau itu, bahaya." Rania terdiam lalu beralih menatap Damian.

Damian yang ditatap mendadak menjadi bingung. Pria itu menoleh terhadap Abi dengan tampang polos. Abi yang melihat raut wajah ayah tirinya mendadak ingin menangis histeris.

Surrender✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang