34| Perasaan yang mulai tumbuh

7.8K 270 1
                                    

Di ujung minggu yang cerah, Kaisha sudah rapi dengan setelan santainya. Gadis itu membiarkan rambut panjangnya terurai.

Setelah semuanya rapi, Kaisha pun melangkah keluar dari kamarnya lalu turun menuju ke bawah. Kemarin, Alan telah berjanji untuk membawa Kaisha berjalan-jalan seharian, jadi mau tidak mau, Kaisha merasa bahagia karena diajak jalan-jalan.

Di bawah sana, semua anggota keluarga Kaisha telah berkumpul di meja makan untuk sarapan. Kaisha pun bergabung.

Gadis itu hanya meminum segelas susunya lalu memandang Alan yang masih menikmati nasi gorengnya.

"Tumben rapi, Kaisha mau ke mana?" Damian bertanya. Anggota keluarga Kaisha yang lainnya langsung menoleh terhadap Kaisha. Mereka juga baru menyadari bahwa Kaisha telah rapi dengan setelan santainya.

"Kaisha mau jalan-jalan sama Om Alan hari ini." Damian langsung melirik Alan sekilas lalu kembali menatap Kaisha.

"Yaudah, tapi Kaisha hati-hati ya?" Kaisha hanya melirik Damian sebentar lalu berdehem mengiyakan. Damian tiba-tiba mengeluarkan dompetnya dari sakunya.

"Enggak usah. Gue yang bawa Kaisha jalan, jadi gue juga yang harus bayarin Kaisha. Lagian Kaisha ini ponakan gue, bukan siapa-siapa," celutuk Alan tiba-tiba. Damian tetap mengeluarkan beberapa lembar uang merah dari dompetnya lalu ia berikan kepada Kaisha. Kaisha pun menerimanya dengan senang dan lapang dada. Walaupun Kaisha sangat membenci Damian, namun ia sama sekali tidak pernah membenci uang daddynya itu.

'MANA ADA ANAK YANG SEDURHAKA GUE! GUE EMANG ANAK YANG PALING DURHAKA, HAHAHA!!'

Kaisha menertawakan dirinya sendiri dalam hati. Benar-benar gadis gila.

Setelah selesai menghabiskan makanannya, Alan lantas berdiri sembari mengajak Kaisha. Kaisha pun langsung pamit terhadap keluarganya lalu berjalan keluar, kemudian disusul oleh Alan yang akan mengemudikan mobilnya.

Kaisha duduk di jok depan lalu Alan pun kemudian menyusul masuk. Pria itu menghidupkan mesin mobilnya lalu mulai melajukan mobil meninggalkan pekarangan rumah.

Di perjalanan, Kaisha masih setia menatap jalan membuat Alan berdehem pelan. Kaisha pun langsung menoleh.

"Gimana sekolah kamu, Sha?" Kaisha tampak berpikir sejenak.

"Not bad."

Alan menoleh sebentar lalu kembali fokus ke depan. "What do you mean 'not bad' hm?"

"Kamu enggak seneng sama sekolah kamu?" sambung Alan lagi.

Kaisha menggeleng. "Enggak, Kaisha seneng kok. Cuma ada beberapa hal yang agak mengganggu Kaisha di sekolah."

"Siapa yang berani-beraninya ganggu ponakan Om di sekolah?"

"Enggak ada kok, Om."

"Sha—"

"Udah sampe Om!" Kaisha langsung menatap mall di hadapannya dengan raut wajah binar. Alan mau tidak mau memutuskan untuk tidak bertanya lagi. Pria itu turun dari mobil lalu disusul oleh Kaisha.

"Wah, Kaisha udah lama enggak ke mall." Alan tertawa lalu mengajak Kaisha untuk masuk.

Alan pun menemani Kaisha berbelanja. Mereka mulai berbelanja dari satu toko ke toko yang lain. Kaisha yang kembali melihat mall langsung liar dalam berbelanja, apalagi saat ini Alan yang membayar semua belanjaannya. Gadis itu berbelanja dari hal yang tidak penting ke hal yang sangat tidak penting. Alan yang melihat itu menangis tanpa air mata. Namun ia tidak apa, asalkan ponakannya bisa merasa senang, Alan turut merasakan senang.

Setelah selesai berbelanja, Alan memutuskan untuk mengajak Kaisha singgah di sebuah restoran. Kaisha pun mengiyakan. Gadis itu kemudian memilih untuk duduk di pinggir kaca agar bisa melihat pemandangan di luar, sedangkan Alan yang pergi memesan makanan untuk mereka.

Surrender✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang