✎ 02. Noise

383 55 2
                                    

30 menit sudah, Hyunjin menghadap Kepala Sekolah. Dahinya dihiasi peluh meski ruangan tempatnya berdiri bersuhu dingin. Kedua belah pihak saling bersitegang mengutarakan pikiran mereka, yang hingga saat ini belum menemukan titik terang.

"Maaf, Bu, tapi saya selalu izin ke wali kelas saya."

"Alasan merawat Ibumu itu kami tolak karena terlalu berlebihan. Mungkin seminggu, dua minggu tidak akan jadi masalah, tapi kalau sampai sebulan, bagaimana kamu mengejar materi? Kamu itu seorang siswa."

"Saya juga sudah berusaha belajar dari rumah, Bu." elak Hyunjin tak menyerah.

"Tapi nyatanya, nilai mu semakin memburuk." katanya, sembari menunjukan sebagian berkas berisi nilai-nilai milik Hyunjin yang sudah ia kumpulkan dalam map cokelat. Lantas, mulut Hyunjin pun terkatup sempurna.

"Selama siswa sehat, alasan itu tak diterima. Ibumu kan bisa dititipkan di RSJ."

"Apa?" Hyunjin mendelik marah. "RSJ? Ibu saya gak gila! Dia cuma diberi kelebihan dalam mengingat."

"Lalu, kalau seseorang mengidap penyakit Skizofrenia, kamu bilang diberi kelebihan berimajinasi? Murid macam apa kamu? Jika dicari, alasan pasti banyak, tapi kebenaran tetap satu, Hyunjin."

"Oh, ayolah, berpikir jernih sebentar. Kamu harus menerima fakta bahwa ibumu itu gila." tambah Kepala Sekolah itu, ringan. Hal itu sukses membuat Hyunjin bangkit dari kursinya.

"DIAM! JAGA MULUT ANDA YA!" sentak Hyunjin dengan telunjuknya. Napasnya tak beraturan karena berusaha menahan ledakan emosi yang membuncah di dadanya.

"Kenapa? Kamu malu?" Kepala Sekolah itu tertawa.

"Enggak, saya lebih malu jika saya gak punya etika kayak Anda."

Tawa sang Kepala Sekolah sirna begitu mendengar sahutan Hyunjin. Guru itu gantian berdiri dari kursinya. "Kamu memang nantangin saya ya. Mulai besok, gausah lagi datang ke Sekolah. Kamu saya Drop out."

Butuh waktu beberapa detik bagi Hyunjin mencerna semuanya, sampai akhirnya ia meraih tangan guru itu dan menggenggamnya erat. "Bu ... Bu, jangan gitu, Bu. Saya siap menerima hukuman apapun, asal jangan dikeluarkan."

Namun guru itu langsung menepisnya dengan kasar. "Tunggu apa lagi? Keputusan saya sudah bulat. Itulah kalau mencoba bermain-main dengan saya." ucapnya ketus, kedua tangannya menyilang di depan dada, kemudian terbit senyum penuh kemenangan.

"Tapi saya hanya membela ibu saya, dan itu hak saya."

"Kamu kira kamu siapa? Kalau prestasi mu segudang, mungkin saya akan berpikir dua kali untuk mengeluarkan mu. Sudah miskin, bodoh, tidak punya sopan santun, apalagi yang pantas diharapkan dari kamu?"

Hyunjin menggesek kedua telapak tangannya dan menyatukannya. "Tolong beri saya kesempatan sekali lagi."

Guru itu buang muka. "Pergi dari sini!"

Melihat tak ada lagi asa, Hyunjin berjalan lunglai dari ruangan itu, membawa tasnya menuju ruang loker yang dipenuhi beberapa siswa kenalan Hyunjin.

Sedikit menyesali perkataannya yang tadi, namun tak apalah. Siapa yang tahan mendengar ibunya dihina? Mungkin jika Kepala Sekolah itu berkata sedikit lebih halus, ia tidak akan terpancing begini.

Tapi tidak, tidak. Ibunya tetap tidak gila. Dia hanya perempuan pengidap Hyperthymesia, dan itu bukan penyakit kejiwaan. Justru Eugene adalah wanita terhebat karena bisa bertahan sejauh ini.

Hyunjin menunduk ketika tatapan intimidasi orang-orang tertuju padanya. Ia tahu tanpa harus melihat ke arah mereka, karena hawa dingin menusuk ketika ia lewat. Mereka sibuk bergunjing tentang nasib Hyunjin.

Disappear ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang