Katanya, tetaplah bernapas dalam situasi apapun, namun jika tenggelam masih bisakah kita bernapas?
.
.
.
Srett
Nyaris saja Hyunjin terjatuh dari rooftop gedung berlantai 10. Ia terselamatkan karena tangannya yang sekarang sedikit tremor itu berpegangan pada tembok--tempatnya duduk. Sedikit saja bergerak, dapat dipastikan dirinya jatuh ke trotoar yang ada di bawah kakinya.
Tubuhnya yang condong ke depan pun perlahan ditariknya ke belakang dengan hati-hati.
Rooftop tanpa pembatas itu sebelumnya ingin ia pakai untuk bunuh diri, namun suara sirine ambulan dari sisi lain gedung memecah fokusnya, dan membuatnya tak seimbang.
Cepat-cepat ia berlari ke sisi lain rooftop, yang sepertinya adalah sumber suara. Dan benar saja, matanya membelalak setelah melihat kerumunan orang yang sangat banyak memadati area trotoar. Di tengahnya, terdapat keranda mayat yang sudah ditutupi terpal dan sedang berusaha didorong oleh petugas untuk dimasukkan ke dalam ambulan.
Hyunjin juga dapat melihat aspal yang berlumuran darah, persis di bawah tempatnya berdiri. Bersamaan itu, tujuan awalnya seketika hilang tertelan angin.
Dari arah lain, 3 mobil polisi dengan sirine kerasnya melaju cepat dan terparkir di depan gedung. Kini mereka dalam perjalanan masuk ke dalam gedung untuk menindaklanjuti kasus tersebut.
Semakin lama, belasan derap langkah itu terdengar semakin keras ke arahnya, menghentak dengan kecepatan yang sama. Kaki Hyunjin jadi terasa ngilu mengetahui tempatnya berdiri sekarang adalah tempat terjadinya perkara.
"Ja-jadi dia bunuh diri di sini?" monolognya dengan tangan yang semakin gemetar.
Tak mau dituduh sebagai tersangka, cepat-cepat ia berlari dan bersembunyi di balik pintu. Setelah semua polisi itu masuk, barulah ia diam-diam keluar dari sana.
Di trotoar, pria itu mencoba meneliti masuk ke dalam jendela ambulan pada sosok siapa yang barusan menjadi korban bunuh diri dan menggegerkan warga setempat. Namun tentu saja ambulan itu dengan cepat berangsur hilang sebelum sempat ia mengetahuinya.
Karena tak mau ambil pusing, Hyunjin memilih kembali melanjutkan perjalanannya. Dengan semangat hidup yang redup, pria berusia 17 tahun itu berjalan melintasi trotoar.
Kota Seoul begitu padat dan indah, orang-orang berkumpul di sana-sini. Sejauh mata memandang, hanya hamparan tawa yang terlihat. Ada sepasang kekasih yang sedang menikmati es krim, keluarga kecil yang hanya sekadar berswafoto di bangku taman, dua saudara yang saling menjahili, sampai sekelompok muda-mudi yang sibuk mencatat hasil observasinya.
Hanya Hyunjin yang tidak punya keceriaan itu. Ia telah kehilangan semangat hidupnya sejak lama.
Jika sekelompok pemuda tersebut ditugaskan untuk mengobservasi keadaan di lingkungan sekitarnya, mungkin tak ada yang dapat ditulis untuk dirinya. Tidak ada satupun yang tertarik untuk mendeskripsikannya, bahkan untuk sekadar membaca ringkasannya. Lembaran-lembaran kosong tentang dirinya hanya akan menguning, dan menumpuk di gudang tak terpakai. Kemudian ketika sudah penuh debu, lembaran itu akan dibuang.
Karena itu, ia berniat baik untuk mengakhiri hidupnya saja agar penulis tidak jengah dan pusing memikirkan nasibnya yang sia-sia. Namun sialnya, ia tidak punya alasan pasti kenapa ingin mati, begitupun untuk bertahan.
"Sekarang pilih, mau ikut Papa, atau Mama?"
Hyunjin memejamkan mata ketika ingatannya kembali menerawang jauh ke belakang. Suara-suara yang tak diinginkan bermunculan lagi di benaknya.
"Jangan tinggalin kita, Pah. Liat Mama, Mama menderita."
"Dia begitu karena ulahnya sendiri."
"Yaudah, kalo gitu liat aku. Papa tega liat aku nanggung semuanya sendirian? Liat semua kekacauan ini."
"Kan tadi sudah Papa tawarkan untuk ikut Papa."
"Aku gak bisa milih salah satunya, kalian sama-sama berarti di--Mama!" Hyunjin berlari menghampiri ibunya yang tiba-tiba meraung-raung di kamar.
Si Pria paruh baya seketika berdecih. "Sudah jelas kamu memihak siapa sekarang." Ia bergegas pergi, diikuti para anteknya yang membawa barang-barangnya meninggalkan kontrakan sempit tersebut di tengah hujan petir.
Hyunjin menggigit bibir bawahnya sendiri, sambil mempercepat tempo langkahnya di tengah terpaan angin malam.
"Bukan gitu, Pah! Bisa bahaya kalo Mama sendirian. Jangan tinggalin kita!"
Posisi Hyunjin yang serba salah membuatnya tak bisa berkutik banyak. Pria malang itu hanya merosot di ambang pintu, menyorot kepergian sang ayah di maniknya yang berkaca-kaca. Kesedihan kentara di wajahnya. Dengungan yang didengar kupingnya sekarang mungkin akan terus didengarnya.
Kini, satu hal yang ia tahu.
Ayahnya telah pergi meninggalkannya.
Dengan semua beban, luka, dan pilu.
Langkahnya yang cepat, kian melambat ketika ia hampir tiba di suatu bangunan kecil. Semalaman tidak pulang membuat Hyunjin mencemaskan keadaan ibunya.
Ceklekk
Pemuda bermarga Hwang tersebut membuka pintu rumah yang hampir lapuk, di mana sorot matanya yang sendu kini memandangi seseorang yang sedang bersedekap di sudut ruangan sembari meracaukan nama yang sama, yaitu nama suaminya, Hwang Dongwook.
"Ma, kapan kau akan sembuh?"
•
•
•
Apa dunia akan lebih baik jika aku hilang?
•
•
•
"Hyunjin, jika Tuhan memberimu pilihan antara hidup dan mati, kau pilih apa?"
"Menghilang, aku hanya ingin lenyap dari orang-orang, seperti tidak pernah ada." jawabnya tanpa ragu.
Yeahh, angst lagi
Welcome, and happy reading! I hope u like it guys!
So, u wanna stay for me?
KAMU SEDANG MEMBACA
Disappear ✔
Fanfictionft. Hyunjin & Jeongin Mereka ibarat bunglon yang menyamarkan dirinya dengan warna lain. Warna yang sebenarnya tidak ingin mereka miliki. Highest rank: #1 in Hyperthymesia #1 in Hyunin #14 in Jeongin #1 in Berbakat ✄┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈ ✎ Start : 040122 ...