✎ 20. Wrong

213 28 2
                                    

Semerbak disinfektan memenuhi bangsal yang akan dimasuki Hyunjin. Langkah awalnya mempertemukan netranya dengan netra Jeongin yang tengah terbaring di ranjang.

Sudah lama, lama sekali Hyunjin memikirkan cara untuk menyebut dirinya sebagai "Hyunjin" di depan Jeongin, lama sekali ia ingin berkata jujur bahwa ia benar-benar menyayangi Jeongin terlepas dari siapa posisi dan perannya di masa lalu. Dan siapa yang mengira kalau hari ini adalah pertemuan pertama mereka setelah selama ini saling memainkan peran, dimana Jeongin kini telah menerimanya. Bukan sebagai Sam, tapi sebagai Hyunjin.

Hyunjin berjalan mendekat, walau mengenakan atribut penyamaran, Jeongin tetap dapat mengenali pria yang selisih 2 tahun darinya.

"Kak Hyunjin!"

Hyunjin balas tersenyum. Saat hendak melepas tas yang dibawanya, Jeongin lebih dulu mengunci pergerakannya dengan memberi pelukan erat. Entah sejak kapan, pria dalam dekapannya itu mulai menangis sesegukan.

"K-kak, kenapa lama banget? Aku kira kamu hilang."

Hyunjin terkekeh, tangannya mengusap surai hitam milik pria yang sudah ia anggap sebagai adiknya. "Maaf sudah membuatmu menunggu. Anggap aja kita lagi main petak umpat kemarin."

Kepala Jeongin menyembul dari dekapan. "Gimana kalo suatu saat kamu benar-benar hilang?"

Hyunjin mengedarkan pandangannya ke arah lain. Itu terdengar seperti lelucon serius. "Not bad, itu impianku. Tapi dengan satu syarat, jangan ada air mata yang jatuh dari orang yang ku sayang."

"Mustahil perpisahan tanpa air mata, jadi tolong jangan menghilang." sanggah Jeongin bersungguh-sungguh.

"Ohh, jadi sekarang kamu mulai sayang aku?" Hyunjin menggoda dengan lirikan mata. Tapi kali ini tidak ada respon dari Jeongin, pria itu justru menatap Hyunjin dengan wajah muram seakan ada hal buruk yang akan menimpa pria itu.

Kamu memang gak akan ninggalin aku, tapi gimana kalo keputusan yang kamu buat di masa lalu yang justru menentukan? Gimana kalo pada kenyataannya memang kita gak pernah dipertemukan?

Merasa ditatap begitu dalam, Hyunjin mengibaskan tangan ke arah Jeongin. "Hey, jangan menatapku begitu, aku bercanda. Siapa yang mau meninggalkan adik yang paling ku sayang ini?" rayunya sembari mencubit gemas hidung Jeongin, membuat si pemilik hidung tersadar dari lamunan.

Detik berikutnya, berita dari televisi terdengar. Itu adalah kasus yang belakangan ini sedang gempar dan dibicarakan di mana-mana.

Tak usah ditanya lagi bagaimana perasaan Hyunjin setiap kali melihat rupa dirinya sendiri terpampang di berita sebagai pelaku kriminal, diserapahi orang-orang, juga diintimidasi kemana pun kakinya melangkah.

Mungkin selama ini Hyunjin diam dengan takdirnya, bagaimana memliki ibu yang mengidap penyakit langka, dikucilkan di sekolah, sampai harus menggantikan orang lain dalam hidupnya. Tapi untuk kesalahan yang tak pernah ia buat, kali ini ia tak terima. Ia hanya kambing hitam yang sudah selesai diperalat, atau bahkan buku referensi yang dibuang setelah selesai dibaca oleh pemiliknya. Namun malangnya ia tak punya kuasa apa-apa. Hyunjin seperti mengayuh sepeda tanpa pedal.

Mengerti betapa khawatirnya Hyunjin, Jeongin memberi tepukan ringan di bahunya, kiranya dapat membuatnya sedikit tenang. "I trust you, aku janji akan bikin orang-orang juga percaya sama kamu." Hyunjin memamerkan segaris senyum di bibir, garis yang sebenarnya tak tahu takdir membawanya ke mana.

"Tapi kamu inget sesuatu gak? Mungkin tentang kejadian di bar?"

Hening sejenak. Hyunjin berusaha menerka apa yang dialaminya. "Kejadiannya begitu cepat, aku bahkan gak tahu ada orang lain juga di sana."

Disappear ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang