"Aku tak meminta dilahirkan, tapi sekarang aku harus membayar."
✎ ✎✎
Setibanya di sana, Hyunjin tak langsung duduk di kursi taman--tempat Jeongin duduk--karena Jeongin terlihat menyumpal telinganya dengan earphone, dan menumpukan sikunya di atas paha. Sepertinya terlalu menganggu jika ia ikut duduk di situ.
Jeongin sendiri sedang mendengarkan penjelasan materi dari internet, sembari memandang ke langit. Langit hampa itu membawa Jeongin tenggelam dalam pikirannya yang justru terfokus pada rasa sakit. Ia kalut di dalamnya.
Tapi itu tak dibiarkan terlalu lama, karena ia kembali teringat dengan peringkatnya. Tentang Felix dan Seungmin yang bisa kapanpun merebut posisinya.
Ia pun kembali memutar ulang video edukasi itu, namun pikirannya tetap tak bisa terfokus. Yang ada, sekarang matanya malah memanas. Jeongin sadar, indra penglihatnya hendak mengeluarkan sesuatu yang paling dibencinya, sehingga ia sengaja terpejam.
Namun karena berulang kali gagal, lelaki berumur 17 tahun itu akhirnya menyerah dan menyetop video yang tengah berjalan di ponselnya, lalu melepas earphonenya dengan kasar. Wajah mungilnya diusap dengan kasar, dan dibawanya ke dalam telapak tangan.
"Fuck! Lo gak boleh cengeng, bangsat!" maki Jeongin pada dirinya sendiri.
Pria itu merapatkan bibirnya yang mulai bergetar, tak membiarkan napas sesak di dada keluar bersama air mata.
Di antara sedih dan marah, sebenarnya Jeongin lebih ingin tertawa. Jujur saja, ia lupa rasanya tertawa tulus seperti apa.
Ia ingin memakai waktunya dengan bahagia tanpa memikirkan soal nilai. Ia ingin menangis tanpa harus merasa cemas diadili. Ia ingin melawan para perisak itu tanpa harus merasa takut.
Tak heran jika ia iri pada hidup Sam yang selalu dapat dukungan dari orang-orang, sementara satu-satunya dukungan yang ia miliki hanya dari ayahnya. Meskipun nilai Sam tidak sebaik nilainya, tapi dia hidup dengan bahagia. Dia bahagia karena dia bersyukur dan tidak tamak.
Jeongin ingin seperti itu, hanya saja ia tidak tahu caranya lepas dari semuanya. Jeongin tak merasa semua ini nyaman seperti pandangan ayahnya pada hidupnya. Semua toxic dan memuakkan. Dia tidak bahagia, tapi juga tidak sedih. Dia tak ingin lari tapi juga tak ingin berhenti. Rasanya seperti hidup menuntutnya harus monokrom, tapi Jeongin justru memilih abu-abu. Dia berada di tengah-tengah.
Sepasang sepatu kets muncul di pandangan Jeongin yang buram dan berhenti tepat di depannya. Ia pun mendongak, menatap lelaki jangkung yang saat ini tengah menatapnya juga.
"Kak Sam?"
Tanpa permisi, Hyunjin langsung duduk di sana. Niat pergi ia urungkan setelah mendengar pekikan frustasi dari Jeongin. Hyunjin merasa ada yang salah dari Jeongin. Ada sesuatu yang disembunyikan pria manis itu dari keluarganya.
Hyunjin sendiri merasa bersalah karena tak bisa menyelamatkan Jeongin tadi siang. Jadi sekarang, ia menyempatkan diri untuk meminjamkan bahunya sejenak untuk bersandar, barangkali Jeongin butuh. Ia tahu ini keluar dari skenario, dan mempedulikan Jeongin bukan urusannya, tapi biar bagaimanapun, dia pernah ada di posisi itu.
Di posisi di mana ia sangat-sangat ingin mati, tapi tidak benar-benar mati.
"Matamu sembab, habis nangis?"
Jeongin tertawa meski tenggorokannya tercekat. "Sejak kapan kamu di sini?" alihnya, tak menjawab pertanyaan Hyunjin.
"Dari tadi." Lekas itu Hyunjin mendekat, ingin melihat wajah sendu Jeongin lebih jelas. "Kenapa nangis?"
![](https://img.wattpad.com/cover/247800394-288-k320374.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Disappear ✔
Fanfictionft. Hyunjin & Jeongin Mereka ibarat bunglon yang menyamarkan dirinya dengan warna lain. Warna yang sebenarnya tidak ingin mereka miliki. Highest rank: #1 in Hyperthymesia #1 in Hyunin #14 in Jeongin #1 in Berbakat ✄┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈ ✎ Start : 040122 ...