Langkah pria berseragam putih abu-abu masih menyusuri trotoar yang sepi. Perjalanan terasa semakin panjang saat langkah kecil itu tak bertenaga. Tapak kakinya yang beralaskan sepatu kusam membuat jejak di setiap langkahnya karena genangan air yang barusan dipijak. Rambut caramelnya terbang ke sana-sini mengikuti arah terpaan angin tanpa disibaknya.
Beberapa saat kemudian, dering ponselnya berbunyi. Pria jangkung dengan bahu jenjang itu memutuskan untuk mengangkatnya meski alisnya berkerut, karena yang mencoba menghubunginya adalah nomor asing.
Satu tangannya menyelinap masuk ke dalam saku, sementara satu tangannya lagi menahan ponsel yang menempel di telinganya.
"Hal--"
"Hyunjin, cepat pulang! Ibumu .... " Si penelpon berusaha menetralisir napasnya yang tersenggal setelah memotong ucapan Hyunjin. "Ibumu kumat lagi. Dia menodong para tetangga dengan pisau. Cepat ke sini!"
"A-apa?!" Hyunjin yang terkejut nyaris menjatuhkan ponselnya. Suara lalu lalang tetangganya yang panik dan
gaduh sesekali tertangkap sambungannya. Alhasil, pemuda yang sedang gemetar itu pun bersikeras memegang ponsel dengan kedua tangannya."I-iya, iya, sebentar lagi aku sampai." jawabnya, lalu menutup telepon.
Langkahnya yang gontai, kini menjadi lebih cepat. Entah karena ia tak mau ibunya melukai siapa pun, atau tak ingin stigma orang-orang terhadapnya memburuk.
"Baik, lihat saja, sampai kapan aku tahan dengan semua ini. Aku akan menjaga Ibu sebisa mungkin, sekalipun jiwaku harus ikut hancur bersamanya."
Hyunjin berlari, dan berlari. Tak peduli seberapa besar kemungkinan dirinya terjatuh sangking cepatnya. Pikirannya saat ini hanya satu, yaitu ibunya. Hingga akhirnya langkah itu berhenti ketika melihat sebuah Apotek di seberang jalan.
Antara mampir ke apotek dan membeli obat penenang, atau langsung pulang saja, Hyunjin bimbang hendak ke mana. Ia sudah membayangkan bagaimana keadaan jika ia pulang tanpa membawa obat penenang. Tapi kalau mampir sebentar, kemungkinan akan jatuh korban jiwa.
Sangking bingungnya, Hyunjin bolak-balik menatap jalan pulang dan Apotek secara bergantian.
Satu kakinya bingung hendak mendarat di mana, sehingga tanpa sadar, langkah ragu Hyunjin menyebabkan sebuah mobil yang sedang melintas nyaris menabrak dirinya.
Hyunjin melihat mobil itu berhenti tak jauh dari posisinya, disambut raut murka sang pengemudi yang kini berteriak dari dalam jendela mobil. "Kamu mau mati, hah?! Cepat menyingkir dari sana!"
"Ma-maaf, maaf." Hyunjin reflek membungkuk, lalu bangkit dan menyingkir dari hadapan mobil itu.
Di sisi lain, pengemudi yang sudah tak diindahkan Hyunjin ternyata tak langsung pergi. Ia keluar dari mobil saat melihat Hyunjin kebingungan di tepi jalan.
Hyunjin yang berpikir pria itu masih menuntut maaf, langsung membungkuk dengan rasa bersalah.
"Maaf, om, sekali lagi maaf."
"Bukan, bukan itu maksud saya." Si pria paruh baya menghentikan pergerakan pemuda yang sekarang melontarkan tatapan tanya ke arahnya.
"Kamu kenapa? Kelihatannya lagi panik." Nada bicaranya melembut.
Hyunjin menggaruk tengkuknya yang tidak gatal dengan kikuk. Mimik panik tergurat di wajahnya. "A-anu, saya lagi buru-buru sebenarnya. Penyakit ibu saya kambuh."
"Terus kenapa kamu masih di sini?"
"Saya ragu mau beli obat penenang atau langsung ke sana. Saya--"
"Obat penenang? Ibumu punya penyakit mental?" potongnya, cepat.
![](https://img.wattpad.com/cover/247800394-288-k320374.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Disappear ✔
Fanfictionft. Hyunjin & Jeongin Mereka ibarat bunglon yang menyamarkan dirinya dengan warna lain. Warna yang sebenarnya tidak ingin mereka miliki. Highest rank: #1 in Hyperthymesia #1 in Hyunin #14 in Jeongin #1 in Berbakat ✄┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈ ✎ Start : 040122 ...