"Hyunjin, Papa mu jahat. Papa mu hampir bunuh Mama. Mama takut."
Suara wanita paruh baya membangunkan tidurnya lagi. Mata setengah tertutup itu berusaha melirik jam dinding yang berdenting di pukul 6.
Ia lepas selimut yang menutupi setengah tubuhnya, lalu duduk mengumpulkan nyawa, meski jeritan itu tak henti memekakkan telinganya sepanjang malam.
Hyunjin berusaha menarik napas sabar meski sangat memuakkan baginya. Ia keluar dari kamarnya, meraih sekotak bubur instan di lemari makan, dan memasaknya.
Tak butuh waktu lama untuk matang, karena prosesnya mirip seperti menyiapkan sereal. Setelahnya, ia susun gelas berisi air putih, mangkuk dengan buburnya, serta tisu makan untuk dibawa ke kamar ibunya.
Ceklek
Ruangan yang dimasuki nyaris kosong karena hanya ada beberapa benda pokok, beberapa ventilasi di atas pintu, serta jendela yang telah diteralis. Tak lupa, cat ruangan dengan nuansa putih minimalis mendominasi ruangan itu. Di sinilah, di mana kaki Hyunjin sekarang berpijak.
Bisa dilihat, seberapa ketatnya Hyunjin mengurung ibunya, Kim Eugene. Hyperthymesia milik Eugene memang tak bisa disembuhkan dan sangat menyiksa pengidapnya.
Dulu sebelum mimpi buruk itu terjadi, Hyperthymesia bagai keajaiban atau kekuatan super yang selalu Eugene dambakan. Eugene senang bisa memiliki ingatan super tajam dan mengira tak akan mengalami kepikunan walaupun usianya menginjak senja nanti. Memang benar, Eugene ingat rincian di hidupnya dari lahir hingga usianya matang untuk menikah. Tapi perlu diingat juga, dengan ingatan yang tak pernah lupa, memori buruk--mulai dari yang ringan seperti pengalaman memalukan atau yang parah, hingga membuat trauma--juga tak akan pernah bisa hilang.
Sialnya, dari sekian banyaknya memori, hanya kenangan pahitnya bersama suaminya, Dongwook, yang terus menerus tergambar di benaknya. Kenangan indahnya hanya sesekali muncul, dan sesaat menenangkannya. Tapi setelah hilang, Eugene akan kembali tersiksa. Mulai saat itulah, Eugene menyebut penyakitnya sebagai kutukan.
Sudah 3 bulan sejak Dongwook pergi dari rumah, dan baru-baru ini ia mengirim surat perceraian pada Eugene.
"Mah, makan dulu yuk." bujuk Hyunjin, entah sudah yang ke berapa kalinya, yang jelas sesendok bubur masih setia dipegangnya.
Eugene yang berbaring lemah di atas ranjang hanya menggeleng tanpa sedikit pun mengalihkan tatapnya yang kosong. "Gak ada gunanya makan, Sayang. Ingatan ini menyiksa Mama."
Hyunjin menaruh mangkuknya, lalu meraih tangan ibunya dengan lembut. "Aku tau, tapi seenggaknya, bertahanlah demi aku. Aku yakin Mama pasti sembuh. Psikiater yang kemarin aku hubungi janji mau dateng hari ini kok."
Eugene menatap Hyunjin sendu. "Pskiater mana lagi yang kuat nanganin Mama? Memangnya uangmu cukup? Lebih baik buat makan kita sehari-hari aja."
"Cukup. Belakangan ini, aku kerja paruh waktu di Cafe."
Jawaban jujur Hyunjin justru membuat Eugene resah, ia tidak enak pada Hyunjin. Seharusnya dia yang selama ini mengurus Hyunjin, bukan sebaliknya.
"Sebenarnya, cukup bikin Mama amnesia aja buat lupain semua itu. Gak apa tubuh Mama remuk, asal ingatan itu hilang."
"Itu artinya, semua ingatan Mama tentang aku juga ke reset kan?" tanya Hyunjin. "Mama mau ngilangin ingatan kecil yang penuh luka itu dibanding mempertahankan kenangan berharga yang jauh lebih banyak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Disappear ✔
Fanficft. Hyunjin & Jeongin Mereka ibarat bunglon yang menyamarkan dirinya dengan warna lain. Warna yang sebenarnya tidak ingin mereka miliki. Highest rank: #1 in Hyperthymesia #1 in Hyunin #14 in Jeongin #1 in Berbakat ✄┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈ ✎ Start : 040122 ...