Last Chance

2.4K 39 4
                                    

1.      Jangan pernah menyesal.
Derit pintu kamar membuatku menoleh kearah pintu, aku duduk di atas ranjang besar, menyandarkan diri ke kepala ranjang.
Ronan Walsh masuk dengan langkah tegapnya, rahangnya mengeras, sorot tajam mata biru itu menatapku, wajahnya memerah menahan amarah, tapi, tapi kenapa? Apakah aku berbuat salah lagi? Apa yang membuatnya marah seperti itu?
Suamiku itu masih bergeming menatapku, ada kata yang tertahan dibibirnya. Aku hanya menatapnya, tidak berani bertanya, aku takut kalau membuatnya marah.
“Tell me, who is he? (Katakan padaku, siapa dia?)” Suaranya sedikit bergetar, aku bingung dengan pertanyannya, siapa laki-laki yang suamiku maksudkan?
“Who?” Jawabku balik bertanya, karena aku tidak tahu apa maksudnya.
“Astaga!” Refleks aku memejamkan mata dan menutup telingaku, Ronan marah, dia melempar vas bunga yang ada di atas nakas ke arah jendela kamar kami. Dentuman itu begitu memekakkan telinga. Aku menatap vas yang hancur dan jendela yang pecah, pecahan kaca kecil terbang kearahku, mengenai lengan kananku, “Aww...” Rintihku.
Aku gelagapan, nafasku tercekat, Ronan mencekikku, “Tell me who’s that damn bastard!Tell me.” Aku tidak bisa menjawabnya, tanganku hanya memukul-mukul lemah tangan Ronan. Ronan melepaskan cekikannya, aku bernafas dengan susah payah, batuk terus keluar dari mulutku.
“Siapa? Aku... aku ga ngerti Mas?” Tanyaku dalam bahasa Indonesia, Ronan Walsh, pria asal Irlandia yang aku nikahi, kami menikah karena amanat papanya, papa Ronan merasa berhutang budi dengan bapakku yang sudah menyelamatkan nyawanya saat akan tenggelam di Pantai Kuta.
“Siapa pria yang menghamilimu!?” Tanyanya dengan penuh amarah.
“Ha... hamil?” Aku terkejut, bagaimana tidak, selama enam bulan kami menikah, belum pernah Ronan menyentuhku, kecuali dua bulan lalu, saat dia mabuk.
“Kenapa? Terkejut? Ketahuan kelakuan busukmu?” Dengan sinisnya Ronan menatapku.
“I... ini anakmu Mas... aku... aku tidak pernah bergaul dengan laki-laki manapun.” Jawabku dengan nada bergetar, “Akh!” Ronan menamparku, sakit sekali rasanya, dia menamparku sekuat tenaganya, rahangku hampir bergeser rasanya.
“Aku tidak pernah menyentuhmu!” Teriak Ronan.
“Ada apa ini nak?” Mama Ronan masuk dengan wajah yang bingung melihat Ronan yang sedang marah, “Ada apa ini Rumput? Kenapa kamu selalu bikin Ronan marah?”
Aku hanya diam, tidak tahu harus menjawab apa? Aku tidak pernah membuat Ronan marah, dia saja yang selalu marah kepadaku.
“Ma! Aku ceraikan dia sekarang juga!”
“Apa?” Mama berteriak, “Kenapa? Jangan macam-macam ya kamu Ronan, Papa masih di ICU, jangan gegabah!”
“Tapi Ma! Dia hamil anak orang lain?” Telunjuk Ronan menudingku, kata-katanya menyakitiku, bagaimana mungkin dia bisa menuduhku hamil anak orang lain, sedangkan jelas-jelas ini anaknya, aku baru sekali melakukan hubungan intim, dan itu bersama dia, Ronan Walsh.
“Apa?” Mama melihat ke arahku, menatapku tak percaya. Adik perempuannya juga masuk dan memandangku dengan tatapan menghina.
“Ini anak kamu Mas...” Ucapku terdengar sedikit lemah, aku merasa sangat terintimidasi dengan tatapan mereka semua.
“Dengar ya jalang! Aku belum pernah menyentuhmu, jadi bagaimana itu bisa jadi anakku?” Kata Ronan dengan penuh amarah.
“Ini anakmu, kamu, kita melakukannya saat kamu mabuk, dua bulan lalu.” Aku berusaha mengingatkannya pada malam itu, malam dimana adiknya, Cliff Walsh, meninggal dan dimakamkan.
“Jangan beralasan, sekalipun aku mabuk, aku tidak akan melupakan begitu saja!” Sangkalnya, entah dia menyangkal, atau dia memang tidak ingat sama sekali.
“Jessi, Jessica melihatnya, kamu memaksaku masuk ke kamar.” Aku menatap ke arah Jessica Walsh, adik perempuan Ronan, “Jessi, tolong kasih tahu Ronan, kamu melihatnya mabuk dan menggendongku masuk ke kamar bukan?”
Jessica hanya diam, semua mata menatapnya, tapi yang dia katakan sangat menyakitkan, “Aku memang melihat Ronan mabuk, tapi sepertinya malam itu tidak ada kamu Rumput, bukankah kamu sibuk merawat Papa di rumah sakit?”
“Jessi!” Teriakku, bagaimana bisa dia berbohong, aku memang ada di rumah sakit, menemani mertuaku, tapi aku kembali ke rumah untuk menyiapkan makan malam untuk Ronan.
“Diam kau! Jalang!” Ronan menamparku lagi, perih di pipi ini tak seperih luka di hati ini, “Aku lebih percaya adikku, daripada kau!”
“Tes! Tes DNA, kamu pasti akan tahu kalau ini anakmu!” Aku membela diriku sendiri.
“Cih! Kau pikir aku akan termakan tipuanmu!” Ronan menolak, aku semakin bergetar, “Mulai malam ini, pergi dari rumah ini! Kita bercerai!”
“Tapi...”
“Pergi! Bawa anak haram mu itu!” Teriaknya, seraya pergi meninggalkan kami. Aku bergeming, tubuhku seperti tidak memiliki tulang, ini bayi kita, bukan anak haram, kenapa kamu seperti ini?
Aku kalut, bagaimana ini, hari sudah malam, aku tidak punya sanak saudara di Ibukota, aku harus kemana?
“Hah!” Mama hanya menghela kasar nafasnya, lalu meningglkan kamarku. Kenapa Mama tidak menolongku? Mengapa?
“Ma... tolong Rumput.”
Mama berhenti, tanpa berpaling Mama berbicara, singkat tapi menyakitkan, “Mama lebih percaya Ronan, jadi pergilah, jangan buat masalah, jangan bilang sama Papa.” Mama pergi meninggalkanku, bagaimana ini?
“Better you go now bitch! Gold digger! (Kamu sebaiknya pergi sekarang jalang! Matre!” Jessica memakiku, entah mengapa dia selalu membenciku, padahal aku tidak pernah mengusiknya.
Aku menangis, selemah inikah aku? Serapuh inikah aku? Aku sudah tidak punya orang tua, aku harus kemana sekarang? Dengan tangan yang bergetar, air mata yang terus mengalir, aku mengambil beberapa lembar pakaianku, aku masukkan kedalam koper kecil milikku, tidak banyak hanya seperlunya saja, jadi sangat cepat aku menata pakaianku.
Aku turun kebawah, sepi, semua orang sudah masuk kedalam kamarnya masing-masing, aku lewati ruang kerja Ronan, pintunya terbuka, aku lihat kedalam, Ronan tidak ada disana.
Aku kembali melangkah, “STOP!” Jessica berteriak, membuatku berhenti, “INI!” Dia melempar beberapa lembar kertas yang baru saja dicetak.
“Ronan bilang, tanda tangani pernyataan cerai itu, tulis di bagian kompensasi, apa yang kamu inginkan, ga usah malu-malu, tulis saja sebanyak yang kamu mau, kamu tahukan kalau kami ini kaya raya!” Katanya dengan sinis.
Hatiku sungguh sangat terluka dengan hinaan Jessica, apakah aku sematrealistis itu? Apa yang sudah aku ambil dari Ronan? Tidak ada, aku tidak pernah meminta apapun, semua pemberian Ronan, aku juga tidak membawa semua barang pemberiannya, tidak ada satupun yang aku bawa.
Dengan tangan yang gemetar, aku menandatangani surat itu, lalu aku tulis di bagian kompensasi itu [JANGAN PERNAH MENYESAL! SAAT ITU TERJADI SEMUA SUDAH TERLAMBAT]. Aku lempar surat itu, aku berbalik dan melangkah keluar.
Saat di luar rumah, mataku masih saja mencari Ronan, mencari mobilnya, aku masih berharap kalau dia akan memanggilku dan menyesali semuanya, lalu berharap aku kembali lagi, tapi akh... lihat mobilnya saja sudah tidak ada, itu berarti dia sudah pergi dari rumah ini.
Aku terus berjalan keluar dari rumah, menyusuri jalanan komplek perumahan elit ini yang sepi, tidak ada angkutan umum ataupun ojek, aku terus berjalan dalam gamang hingga jalan raya, menunggu datangnya taksi online yang aku pesan.
***
Hai hai, semoga suka ya sama khayalan yang satu ini. Happy reading.

Baca cerita ini di Joylada ya manteman, di Wattpad ada sih, tapi cuma bagian 21+ nya wkwkwkw

 	Baca cerita ini di Joylada ya manteman, di Wattpad ada sih, tapi cuma bagian 21+ nya wkwkwkw

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Second ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang