Acara semalam benar-benar kacau. Aku. Benar-benar kacau. K a c a u.
"Papa, sebagai dokter, papa punya kode etik yang sudah papa langgar, bagaimana papa bisa membuka riwayat penyakit pasien papa didepan umum seperti itu?"
"Rudy, kalau bukan karena kamu, papa ga akan seperti ini, juga kalau Pran tidak bertipu daya papa ga akan melakukannya."
"Tapi pa, tetap papa salah!"
"Rudy, papa tetap tidak setuju kamu dengan Sasi! Tidak, dia tidak akan bisa punya anak Rud! Papa mau kamu bahagia, kamu ga akan bahagia sama dia!"
"Papa dengar aku, aku akan jelaskan semuanya sama papa."
"Rudy, cukup."
Braak.
"Pa, papa..."
"Ma, mama telpon ambulan! Cepat! Pa, papa!"
Papaku kolaps semalam, setelah pulang dari acara itu, serangan jantung.
Aku sudah menceritakan semuanya pada mamaku, menurut mama, papa jangan diberitahu dulu, tunggu sampai dia lebih sehat.
Aku kacau. Aku bingung. Sasi kenapa kamu tidak memberitahu ku? Kenapa kamu membuat aku menjadi pecundang selama ini? Kenapa kamu menanggung semuanya sendirian? Kenapa aku sangat bajingan?
"Arrrgggghh!!"
"Rudy, bagaimana papa mu?" Tania datang dengan suaminya.
"Masih belum sadar."
"Apa yang terjadi semalam Rud? Ayo cerita. Bukannya kamu dalam acara perjodohan?"
"Tania, kamu ingat Sasi?"
"Iya. Kenapa dengan dia?"
"Ya, singkat cerita, aku bertemu lagi dengan dia, lalu dia yang akan dijodohkan denganku semalam, tapi dibatalkan oleh papa."
Aku berhenti sejenak. Menarik napas dalam-dalam.
"Kenapa?"
"Karena waktu di Cambridge, papa yang menangani Sasi saat dia pendarahan hebat."
Aku memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam, menceritakan kembali hal ini, membuatku semakin merasakan apa yang Sasi rasakan dahulu.
"Pendarahan?"
"Kamu ingat pil aborsi yang kamu berikan. Ternyata itu membuat rahimnya rusak dan dia mungkin tidak akan bisa punya anak selamanya."
Aku menutup mukaku dengan kedua tanganku. Aku serasa tidak mampu menerima semua hal ini. Ternyata, ternyata aku salah. Aku jahat. I'm the bad guy in here.
"Rudy... Aku... Aku minta maaf untuk ini, aku... Aku benar-benar tidak tahu bisa berakibat seperti ini."
"It's not your fault Tan, it's mine." Aku pergi meninggalkan rumah sakit.
Apa yang harus aku lakukan sekarang?
Aku harus menemui Sasi.
***
"Sasi, buka pintunya! Sasi! Kalau kamu ga buka, aku akan menunggu disini sampai kamu buka!"
Aku menunggu Sasi sampai malam saat dia akan keluar membeli sesuatu. Aku membiarkannya pergi dan menunggunya kembali. Dia tidak menyadari aku masih menunggunya.
"Sasi." Dia terkejut melihatku. Dia membeli mie instan, dia belum makan rupanya.
"Pergilah, you're not welcome!"
Sasi membuka pintunya, dan aku menahannya, lalu memaksa untuk masuk ke dalam.
"Aku lapar Sas, aku sudah menunggu kamu seharian."
Dia hanya diam, mendiamkan aku tanpa memandang ke arahku. Dia sibuk masak mi instan, dia membuatkan ku juga, ini artinya dia masih perduli padaku, masih ada aku di hatinya.
Aku membiarkannya menghabiskan makanannya, aku takut kalau aku memulai pembicaraan dia akan berhenti makan.
"Kamu sudah makan, sekarang pergilah Rud." Sasi berdiri dari kursi makan, berjalan menuju kamarnya, aku memeluknya dari belakang.
"Lepas Rud!"
"Maafkan aku Sasi..." Hanya itu kata-kata yang mampu keluar dari mulut ku, setelah ribuan kata yang aku rangkai untuk aku ungkapkan padanya.
Dia hanya terdiam. Ada tetesan air mata terasa yang jatuh di punggung tanganku. Dia menangis. Menangis karena aku. Sudah berapa besar luka yang aku buat Sas? Balas aku Sas? Biarkan aku merawat luka-luka mu Sasi.
"Pergilah Rud..."
"Sasi, kenapa kamu tidak cerita padaku waktu itu?"
"Kalau aku cerita, kamu akan memberikan aku kompensasi apa?"
Ya, benar kalau dia cerita saat itu, aku pasti akan semakin menghinanya dengan kompensasi.
"Sasi..." Aku berlutut di hadapan nya. Aku benar-benar merasa sangat bersalah.
"Sasi... Aku mencintaimu, dari awal yang aku cinta itu kamu bukan Tania, aku baru menyadarinya saat kamu meninggalkan ku dulu, saat kamu pergi dan aku tidak bisa menemukan mu. Aku baru tersadar bahwa hanya kamu yang aku butuhkan."
"Rudy... Pergilah."
"Sasi... Menikahlah denganku, aku akan menjagamu, aku akan bersamamu seumur hidupmu, aku akan melakukan apapun untukmu."
"Rudy... Pergilah." Dengan masih menangis dia mengusir ku. Kenapa kamu begitu kuat Sasi?
"Sasi tolong beri aku kesempatan lagi. Tolong balas semua perbuatan ku padamu..."
Sasi masuk kedalam kamar dan mengunci pintu kamarnya.
Kenapa dia tidak marah padaku, kenapa dia tidak melemparkan aku benda-benda, kenapa dia tidak memukulku, kenapa dia hanya mengusirku? Jangan mengusirku, aku tidak akan pergi dari mu lagi Sasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Chance
Любовные романы"aku hamil Rud." "Buang anak itu Sasi, aku tidak menginginkan nya, aku tidak menginginkan kalian!" Cinta memang tanpa logika. Sasi yang selalu disakiti, tetap mencintai Rudy. Sampai saat itu, ketika dia dipaksa aborsi. Itu terlalu menyakitkan.