"Coba tebak aku ketemu siapa tadi di apotik?" Ishak bertanya sambil memberikan obat maag, ya, sakit maag ku kumat, padahal tadi makannya tepat waktu, masa sih setress karena ketemu dia? Mencoba untuk menyangkali kenyataan.
"Siapa? Dian Sastro?"
"Bukan! Kenapa jadi Dian Sastro ya Sas?"
"Kan idola kamu. Emh... Artis Korea?"
"Bukan! Temen kamu juga?"
"Siapa? Wina? Ferren? Donna?"
"Bukan bukan bukan! Rudy. Yang tadi sore ketemu di taman."
"Oh dia." Kenapa juga harus kamu kasih tahu kalau ketemu dia.
"Dia sakit Sak? Kok ke apotik?"
"Iya sakit, sakit nikmat." Ishak menyeringai aneh.
"Hah? Sakit nikmat gimana?"
"Beli kondom sampe 2 pak. Gila, mau bertempur berapa kali dia, kuat juga dia. Sial, aku harus cari tahu resepnya dari dia."
Kondom? Ngapain dia beli kondom? Sas, ngapain kek, peduli amat sih, inget dia bukan siapa-siapa mu!
"Informasi yang sangat tidak penting." Aku sedikit sinis dengan Ishak.
"Sak, aku pulang setelah istirahat sebentar."
"Tapi ini sudah larut Sas, kamu juga sakit."
"Tapi Kakek minta aku datang besok pagi." Aku berbohong pada Ishak, sebenarnya aku takut berhadapan dengan Rudy, aku tak tahu apa yang harus aku katakan jika bertemu lagi esok hari. Ya, walau kemungkinan bertemu sangat tipis, diakan lagi bulan madu.
"Kenapa kamu bohong Sas?"
"Eh? Kok bohong?"
"Sasi, aku ini teman mu, aku tahu kapan kamu lagi bohong." Ishak memandangku sambil memiringkan kepalanya.
"Apa gara-gara si Rudy itu?"
"Eh? Kamu kenapa jadi main tebak-tebakan sih?" Aku berusaha menyangkali Ishak.
"Oh jadi benar dia, apakah dia laki-laki dari masa lalu mu?"
"Ishak please... Bukan seperti itu. Aku memang harus pulang malam ini."
"Oke oke, aku juga pulang bareng kamu."
"Kamu tidak perlu."
"Aku perlu, siapa tahu kamu butuh pundak untuk menangis, karena ketemu m.a.n.t.a.n." Ishak meledek seperti biasa.
Aku lempar bantalku "apa sih Sak! Mantan babu kali!"
"Masa, bukan mantan majikan kamu dulu?"
"Isaaaaaaak!" Aku ga tahan juga sama Ishak lama-lama.
"Hahahahaha aku siap-siap dulu ya, nanti aku jemput sejam lagi ya."
Hhhuuft akhirnya aku menghela napas panjang. Kenapa kenangan itu kembali lagi, aku selalu merasa bersalah, kenapa dulu aku tidak melawan sekuat tenaga. Kenapa dulu aku juga sempat terbesit dalam pikiran 'tidak apa-apa jika harus aborsi', kenapa aku bisa sejahat itu.
"Oh, Tuhan." Air mata ini jatuh tak tertahankan. Penyesalan datang seperti hujan deras, membasahi semua tempat yang disinggahi, hati ini hancur.
Aku terlalu takut berhadapan dengannya, aku tak tahu harus bagaimana, haruskah aku marah? Tapi aku tidak bisa marah padanya, haruskah aku kecewa? Pada kenyataannya aku kecewa pada diriku sendiri. Tapi kenapa aku takut bertemu dengannya? Karena aku takut, aku masih mencintainya, aku masih mengharapkan nya, aku masih sebodoh itu.
"Ayo pulang Sas."
"Ayo."
Sepanjang perjalanan Ishak hanya fokus mengendarai, dia tahu mataku sembab tapi dia tidak bertanya apapun, dia memang teman terbaikku, selalu mengerti apa yang aku rasakan.
"Kamu tidur aja, nanti kalo udah sampe aku bangunin."
"Iya. Makasih Sak."
"Deuh elaah, pake makasih segala, udah kaya sama siapa aja!"
"Au ah lap Sak."
Ishak berhasil membuatku tersenyum, sedikit beban terasa hilang dengan tersenyum. Terimakasih teman, selalu mendukungku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Chance
عاطفية"aku hamil Rud." "Buang anak itu Sasi, aku tidak menginginkan nya, aku tidak menginginkan kalian!" Cinta memang tanpa logika. Sasi yang selalu disakiti, tetap mencintai Rudy. Sampai saat itu, ketika dia dipaksa aborsi. Itu terlalu menyakitkan.