Aku memejamkan mataku, ku arahkan kursi putarku menghadap ke jendela supaya aku dapat memandang langit biru, aku tidak bisa fokus bekerja, pikiranku dipenuhi dengannya.
Kenapa harus dengannya? Kenapa harus ada dia lagi di hidupku? Kenapa jantungku berdebar sangat cepat saat melihatnya lagi, dan kenapa aku menyadari kalau aku merindukan nya.
No Sasi, jangan bodoh lagi, dia sudah milik orang lain, kamu ga boleh jadi pelakor! Lupakan dia Sasi, kamu tidak pantas.
-tok tok tok tok-
"Ya masuk."
Aku masih pada posisiku, masih memejamkan mataku dan menekan pelipisku untuk mengurangi pusing di kepalaku.
Kenapa Ferren tidak bicara? Apa dia hanya menaruh berkas, ya sudah, aku masih nyaman begini.
Tapi aroma ini? Sial! Sampai aromanya saja aku hafal.
"Kamu sakit?" Suara ini, Rudy, apa aku berhalusinasi, tapi kok seperti nyata.
"Sasi, kamu sakit?" Tuh kan, halusinasi parah ini, aku sakit Rud, aku merindukan mu, tapi aku ga mau lagi dekat dengan mu... Lalu aku membuka mataku, dan tiba-tiba ada dia di depan ku, memandangku seperti ada kerinduan yang sama.
"Kamu? Tidak, aku baik-baik saja." Kenapa sih kamu harus datang terus? Aku berusaha sedingin mungkin, aku tidak ingin emosi ini terbaca.
"Well, kamu terlihat lelah Sas."
"Ada perlu apa?"
"Aku mau bahas kerjasama kita." Alasan apa ini?
"Kamu harus turun tangan juga untuk urusan seperti ini?"
"Khusus untuk mu Sas."
Khusus? Jangan terpancing kata-katanya Sas, dia milik orang lain, ingat itu.
"Lain kali bikin janji dulu, kerjaan ku masih menumpuk." Aku akan mengusirnya secara halus.
"Ya, aku tunggu aja kamu sampai selesai kerjaannya, atau perlu aku bantu?" Sifat ini tidak berubah dari dulu, masih aja suka maksa.
"Silahkan saja." Aku berdiri dari kursi putarku, aku pergi menuju pantry, untuk memanaskan makan siangku, dan membuat segelas teh hangat untuk ku. Saat aku kembali ke ruanganku, Rudy masih ada disana, menyamankan diri di sofa. Aku makan di meja kerjaku, yang sedikit harus aku rapikan.
"Kamu makan sendiri? Ada tamu juga, ga kamu tawarin makan? Aku juga belum makan loh."
Masih mengunyah makanan aku menjawabnya sedingin mungkin.
"Ya, kamu kalau mau makan pergi ke kantin aja sana, sekretaris ku sudah pergi istirahat siang, jadi tidak ada yang akan menyuguhi kamu minum apa lagi makan."
Rudy berjalan ke mejaku dan tiba-tiba dia merebut bekal ku lalu membuangnya ke tempat sampah kertas. DIA MEMBUANG SAMPAH ORGANIK BASAH KE DALAM TEMPAT SAMPAH YANG BISA DIDAUR ULANG! MARAH AKU!
"RUDY! HOW COULD YOU?!"
"You call my name when you're angry, since we met at Anyer, you don't call my name. Because your lunch is sliped from my hand, come I'll treat you lunch."
Dia menarikku keluar dari meja ku, mengambil tas tanganku, lalu memaksaku keluar makan siang dengannya.
"Lepaskan tanganku, aku ga suka jadi bahan gosip karyawan ku!" Aku masih memendam marah padanya, bekal buatan Ishak dibuang, dibuang di tempat sampah daur ulangku. Menyebalkan.
Dia mengajakku ke restoran Padang, yang terkenal enak, aku tahu restoran ini tapi aku tidak pernah makan disini.
Dia memesan banyak makanan, nasinya dia pesan untuk porsi 4 orang, aku hanya makan perkedel dan nasi, karena aku vegetarian dan aku punya penyakit asam lambung, makanan bersantan adalah musuh besar pencernaan ku.
Rudy makan seperti orang kesurupan, dia sangat menikmati makanan nya, sampai aku dibuat jadi kepingin ikutan makan juga, sambal hijau dan sayur nangka nya itu sungguh menggoda iman.
"Maaf Sas, aku kalap, dari sejak sampai Indonesia aku benar-benar pingin makan nasi Padang, baru ini kesampaian."
Kenapa ga makan sama Tania aja, dia kan istrimu, kenapa harus sama aku? Kamu pikir aku masih sebodoh dulu apa?
"Kalau sudah selesai ayo kembali ke kantor." Aku tidak ingin terjebak terlalu lama dengan Rudy, aku tidak ingin bernostalgia dengannya, aku harus menekan keinginanku.
"Tapi kamu belum makan Sas."
"Aku sudah minta bungkus."
Sepanjang perjalanan kembali ke kantor, kami hanya terdiam, aku suka seperti ini, walaupun kaku tapi tidak perlu menyiratkan perasaanku padanya.
"Ferren, ini buat kamu."
"Nasi Padang Bu? Ibu makan nasi Padang?" Ferren bertanya dengan penuh ke khawatiran.
"Nggak."
"Syukur Bu, saya bisa di marahi pak Ishak kalau sampai ibu makan nasi Padang."
Aku hanya tersenyum dan masuk ke dalam ruanganku, mengambil bekal dari Ishak yang baru dari dalam kulkas.
Rudy sedang berbicara dengan Ferren.
"Fe, tolong panaskan ini, juga buatkan saya teh."
"Baik Bu."
"Lalu pastikan kamu bekerja dengan benar! Jangan biarkan sembarang orang masuk ke ruangan saya!"
"Baik Bu."
Aku sengaja menyindir Rudy, agar dia tidak sembarang, tidak seenaknya sendiri saja.
-tok tok tok-
Aku tidak menjawab ketukan pintu itu, itu pasti Rudy, dia pasti akan masuk walau tanpa izin.
Benarkan, suara langkah kaki itu, milik Rudy, aku masih sangat hafal.
"Sas, aku minta maaf ya, aku careless aku tahu kamu sakit maag tapi aku ajak kamu ke restoran Padang, lalu aku juga baru tahu kalau kamu vegetarian."
Apa sih yang kamu tahu tentang aku Rud? Kamu memang tidak pernah perduli padaku dari dulu.
"Aku juga minta maaf untuk makanan yang aku buang."
Aku tidak menjawabnya, aku tidak ingin menjawabnya, aku hanya menutup mataku dan bersandar di kursi ku, membiarkannya pergi keluar dari ruangan ku.
Entah mengapa, rasanya aku ingin menangis, apakah karena makanan yang dibuang atau karena dia tidak perduli, atau karena dia minta maaf? Semua emosi bergejolak di dada.

KAMU SEDANG MEMBACA
Second Chance
Romance"aku hamil Rud." "Buang anak itu Sasi, aku tidak menginginkan nya, aku tidak menginginkan kalian!" Cinta memang tanpa logika. Sasi yang selalu disakiti, tetap mencintai Rudy. Sampai saat itu, ketika dia dipaksa aborsi. Itu terlalu menyakitkan.