13. Menang atau Kalah

45 2 1
                                    

"Kenapa, Zah?" Naya mengesampingkan ponselnya untuk memperhatikan Zahra yang dari sudut matanya terlihat bergerak gelisah. Dia memiliki kepekaan pada temannya itu.

Di bawah meja, ketukan kaki cewek berkulit pucat itu berhenti. Tangannya lantas menyelipkan rambut ke belakang telinga, menujukkan gerakan gugup yang memperbesar tanda tanya di kepala Naya.

"Naya." Naya mengangkat sebelah alis menanggapi panggilan Zahra yang kemudian mengalihkan tatapan. Ia tak merasa semenyeramkan itu hingga orang lain takut berbicara kepadanya dalam keadaan biasa.

"Iya?" Naya menyimpan ponselnya di laci. "Kenapa, Zah?" tanyanya ramah.

"Kamu tiap hari chatan sama Regan?"

Naya terperangah dalam hati. Ia tak berniat mendahulukan ponselnya yang bergetar karena merasa urusan ini lebih perlu didahulukan daripada niat bicara cewek itu lebur tak bersisa.

"Tiap hari iya, tapi nggak sering-sering banget. Kadang balesnya juga lama karena punya kesibukan sendiri," jawab Naya langsung. Alih-alih memutar otak untuk jawaban pertanyaan itu, ia lebih berpikir alasan Zahra bertanya. Bukannya berburuk sangka perihal itu pasti ada sangkut pautnya antara perbandingan sesuatu dan pacar Zahra.

"Menurut kamu gimana kalau pacar kamu chatan sama cewek lain?"

Alis Naya mengerut. "Ya nggak papa, sih bagi gue kalau biasa aja tau batasan lah." Ia sedikit ragu memberi jawaban, takutnya tak sesuai realita jika situasi itu terjadi.

"Kalau pacar kamu jalan sama cewek lain?" Zahra mempertanyakan topik yang lebih berat.

"Kalau dia emang berniat berkhianat, lebih baik selesai aja," jawab Naya menggunakan logika.

"Hubungan kalian sekarang baik-baik aja?" Naya sepenuhnya menghadapkan tubuh ke arah Zahra mengetahui pertanyaan itu menjurus pada hal serius.

"Baik kok."

"Pacaran kalian gimana?" Zahra bertanya hati-hati.

Naya yang merasa diinterogasi mulai merasa terusik. "Gimana apa maksudnya?" Ia membalas dengan kalimat yang lebih terdengar lembut daripada 'kenapa lo tanya itu?'.

"Kalian bener-bener saling suka?" Zahra menghindari tatapan lawan bicaranya.

Ekspresi Naya sudah tak sehangat tadi. Tak semua orang ia terima ketika mereka bertanya mengenai hal pribadi dan pertanyaan Zahra tadi termasuk di dalamnya. Perkenalan mereka yang telah terjalin hampir dua tahun tak merubah batasan.

"Pacaran kalian lebih kayak temen akrab di mataku. Regan bener-bener keliatan suka."

Naya menangkap satu pernyataan yang mungkin tak berani Zahra suarakan. "Emang kalau pacaran yang sebenarnya kayak gimana?" Suara Naya tak bersahabat. Keterdiaman Zahra semakin membuat tegang suasana diantara mereka.

"Bukannya kalau kamu terkesan membebaskan dan kurang peduli buat hubungan kalian...." Zahra menggantungkan kalimatnya. Antara sadar dengan perkataannya atau takut melanjutkan ucapannya.

"Apa gue keliatan membebaskan dan kurang peduli?" tanya Naya menuntut.

"Ya." Zahra menjawab pelan tanpa tahu kalau Naya tidak suka dengan sifat yang suka menyimpulkan sendiri.

"Sekarang apa definisi pacaran menurut pemikiran lo?" Bukan meminta pendapat, Naya justru terdengar mendebat. "Chat dia setiap saat, nggak ngebolehin dia chat sama cewek lain, nggak ngebolehin dia jalan sama cewek lain?" Cewek berambut terurai itu mengungkapkan kebalikan pertanyaan Zahra.

"Itu yang dinamain pacaran?" Naya menatap Zahra intens.

Zahra masih terdiam di detik ketiga seolah memberi Naya kesempatan lebih untuk berbicara. "Waktu dia bukan cuma buat pacaran, Zahra. Dia punya hal penting lain yang harus dia lakuin," ucapnya pelan seolah ingin kalimatnya benar-benar Zahra resapi.

SAKYA CITRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang