15. Kurang Terang

52 2 1
                                    

"Duduk dulu, Papa mau bicara." Naya langsung cemberut mendengar kalimat yang dianggapnya perintah dari pria berekspresi kaku yang ia sebut papa.

Raditya sempat melihatnya, tapi tetap menempatkan diri di sofa single dan belum berbicara sampai Naya duduk di sisinya. Meski harus dibuat menunggu selama tiga detik untuk menemui hasil, tindakannya tadi secara tidak langsung adalah paksaan bagi anaknya.

Pergerakan Raditya menurunkan volume televisi sampai menaruh remote menjadi objek tatapan Naya yang tak bisa rileks. Terlebih ketika tatapan dari bola mata yang sama dengannya beserta sebuah pertanyaan ditembakkan kepadanya.

"Sejak kapan kamu sama Regan?" Naya langsung mati kutu. Tak memprediksi pertanyaan itu keluar dari bibir sang ayah yang memang tak suka berbasa-basi.

Naya memainkan bibir dengan menggigitnya kecil sambil berusaha menjaga kontak mata. "Awal semester."

"Ganjil atau genap?"

"Genap."

"Genap kemarin?"

"Iya." Raditnya sudah mendapat dua informasi dasar dalam kurun waktu kurang dari satu menit. Ia menyandarkan punggung, menidurkan lengan di sandaran dan menjeda pertanyaan berikutnya selama tiga detik.

"Kalian bukan cuma temen, kan?"

"Bukan."

Abai dengan nada kecil Naya ketika menjawab, Raditya justru memberi pertanyaan lebih berat. "Apa tujuan pacaran buat kamu?"

Merasa waktu menjawab cukup, layar plasma yang semula menampilkan tayangan itu berubah hitam. Menjadikan suasana semakin mengintimidasi bagi putri Raditya yang tatapannya telah turun, tanda menyerah mencari jawaban.

"That's an easy question. Kamu melakukannya berarti kamu bisa menjawabnya." Raditya benar-benar tak membiarkan waktu terbuang ataupun lawannya tenang kala berpikir.

Naya masih tak berkutik. Bimbang dan merasa berada di posisi serba salah. Sedangkan Papanya mulai menuntut dengan nada sedikit naik. Hal yang Naya temui lagi setelah sekian lama.

"Kamu ditanya berarti kamu harus menjawab. Konsepnya pertanyaan dibuat untuk meminta jawaban, bukan minta orang yang seharusnya punya kewajiban jawab itu bungkam."

Naya diam-diam menggigit bibir menahan desakan sesak yang berontak keluar. Suara hidungnya yang menghirup udara tak mengoyahkan Raditya untuk melembut.

"Kamu udah punya rencana gimana kamu kedepannya, mau serius atau main-main?"

Naya tertohok di setiap kalimat Raditya. Ia paham apa yang dibicarakan Papanya, tapi keberaniannya berbicara sangat susah untuk diwujudkan.

"Masih belum bisa jawab atau nggak ada kemauan untuk menjawab?"

Tangan Naya mengepal kuat menekan rasa takut.

"Jawab, Papa butuh jawaban!" Suara tegas Raditya terdengar menahan kemarahan sebab perilaku Naya tak sesuai keinginannya.

"Papa nggak ngizinin?" Naya segera mengangkat pandangan dan berucap lirih. Kepalanya sedari tadi tak menunduk meski diliputi ketakutan.

"Apa kamu dulu minta izin?" Raditya mendengus remeh. "Papa nggak menerima pertanyaan untuk balasan pertanyaan Papa sendiri."

Kali ini kepala Naya sedikit tunduk menujukkan ketidakmampuan, rasa menyerah menghadapi situasi ini.

Raditnya membiarkan deru napasnya mengisi keheningan sambil menatap Naya lekat. "Kamu nggak bisa kasih jawaban lain atau udah punya pilihan jawaban yang Papa berikan tadi?"

Pria berkaos polo itu menyambung pertanyaan. "Dapet apa kamu dari pacaran? Nggak bisa dapet dari orang lain kayak teman perempuan kamu atau kamu nggak bisa cari sendiri?"

SAKYA CITRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang