35

9 1 1
                                    

"Orang-orang cuma liat kamu!" Zahra sudah berhasil menarik perhatian dengan seruan pertamanya, apalagi dengan wajah berurai air mata.

"Ngobrol sama kamu! Bicarain kamu! Tanya tentang kamu sampai bikin aku keliatan nggak ada!" Dengan kenaikan nada tiap menyebut kata, Zahra terdengar memuntahkan emosi yang selama ini dipendam.

"Aku ini apa?" Sambil menujuk dada dengan getaran suara Zahra dipandang iba. Naya bahkan merasa hatinya berdesir nyeri.

"Kamu tau gimana rasanya jadi aku? Pernah mikirin aku? Stelah semua orang perhatiin kamu, belum cukup kamu ambil perhatian…." Kalimat Zahra menggantung, kepalanya menunduk dengam bahu bergetar. Zahra sesenggukan di dalam pelukan Mamanya yang kini menitihkan ar mata. Selama ini ia cukup sakit hati lebih dikenal sebagai teman Naya. Bukan Zahra Heera Yudistia.

Untuk Naya ini bukan pertama kalinya ia tak disukai karena hal yang tak bisa disebut kesalahan. Dia bukan orang dengan sabar seluas samudra menerima segala kebencian dari orang-orang dengan berbagai alasan.

Semua tak membuka suara hingga tangis Zahra sedikit mereda. Pandu yang duduk di ujung meja berdehem. "Kamu tidak menyukai Naya karena itu?" 

"Karena dia selalu jadi perhatian sampai keberadaan saya seperti nggak terlihat orang lain."

Sayangnya kalimat yang susah payah diucapkan Zahra itu belum membuatnya langsung menang.

"Jadi kamu tidak menyukai Naya karena perilakunya atau karena perilaku orang lain kepada Naya?" Karena Naya bisa merubah sikap, tapi tak bisa merubah sikap orang lain kepadanya.

•●Sakya Citra●•

"Kalau bisa diulang, gue nggak akan mau temenan sama lo."

Puncak kekecewaan Naya tersirat pada kalimat terakhirnya sebelum langsung keluar begitu pertemuan itu selesai. Dia tidak menuntut maaf dari Zahra setelah Ayah cewek itu melakukannya sebagai orang tua sekaligus untuk Zahra. Seharusnya mantan temannya itu harus lebih berpikir, bukan berlagak seolah paling tersakiti oleh peran antagonis Naya.

"Kamu nggak cerita ngalamin hal sebesar ini?" Raditya terlalu lama menahan emosi hingga meledak ketika ketiganya baru masuk rumah. Dadanya naik turun menatap Naya yang tak memasang ekspresi apapun.

Laki-laki itu mengembuskan napasnya keras sambil menjatuhkan tubuh di sofa tunggal. "Dimana pikiran kamu Naya?" Pososi duduk tegap dengan kedua tangan di sandaran sofa menunjukkan kalau dia tak mau dilawan. Elvina menenyentuh bahu Naya menuntunnya agar duduk.

"Hal apa yang Papa maksud?"

"Kamu masih tanya?" Oh dengar apa balasan anaknya itu. Raditya mendengus tak percaya. "Bullying yang udah beberapa kali kejadian dan bukan dari satu orang, kamu bisa cuma diam aja selama ini?" 

Naya bisa menjawab bisa karena kenyataannya begitu, tapi memilih mengungkapkan alasannya. "Kalau aku bicara, Papa pikir hal ini nggak semakin rumit?" 

"Bicara itu solusi, bukan penambah masalah." 

"Tujuannya memang menyelesaikan tapi prosesnya ngrepotin." 

"Ngrepotin? Apa itu yang bikin kamu jadi  pengecut kayak gini?" 

"Gimana aku nggak jadi pengecut kalau aku kena masalah itu seolah aib bagi Papa?" desis Naya menambah tegang suasana.

Raditya bukan orang ekspresif, tapi kali ini dia terlihat terkejut mendengar itu. "Kamu berpikir seperti itu?" Senyum pedihnya terbit. "Apa seburuk itu Papa di mata kamu?" 

"Naya…." Elvina menegur mencegah Naya semakin melewati batas.

Naya mengedip yang kemudian menujukkan lapisan kaca di matanya. "Papa atur semua, minta aku nglakuin hal yang belum tentu aku suka, tapi sering larang hal yang aku suka."

SAKYA CITRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang