23. Jalan Malam

50 2 1
                                    

Naya pergi, tapi dengan izin palsu. Itupun tak sengaja. Ia singgah sebentar setelah merasa cukup berjalan-jalan lebih jauh dari tujuan awal. Meski tempat itu pernah membuatnya masuk dalam video seseorang tanpa ia tahu.

Terangnya jalan yang Naya tatap berkebalikan dengan tempatnya duduk dengan kaki terlipat. Seolah menunjukkan kebahagiaan dan kesedihan adalah perasaan kontras. Bahkan manisnya permen gagang terasa kurang untuk mengusir kepahitan perasaannya belakangan ini.

Cewek berhoodie abu misty itu tersenyum kecut. Dia nampak lebih menyedihkan ketika melamun. Entah lagu keberapa yang berputar dari playlistnya, ia tersadar setelah merasa sebuah mobil di depannya melaju lambat walau tak berhenti. Sedikit Naya berpikir negatif tapi tak membuatnya memutuskan pergi.

Kalau gue nggak pulang, gue dicariin nggak ya? Pemikiran Naya memang gila, lebih gilanya lagi cewek itu justru masih di sana seolah ingin mendapat jawaban pemikirannya.

Sampai-sampai entah beberapa waktu berlalu senyum tipis Naya sempat terbit melihat Papanya mengitari mobil yang baru saja berhenti.

"Naya!" Raditya melangkah dengan ekspresi kesal. Frustasi merasakan tingkah anaknya yang belakangan ini menyita pemikirannya.

Naya sedikit cemberut dan memberanikan diri menatap Papanya. 

"Kemana aja kamu?" Naya sempat menciut oleh suara keras itu. "Tau udah malem kenapa nggak langsung pulang. Nggak mikir kalau nanti hujan kamu pulangnya gimana?" 

Cewek itu tak menjawab. Raditya yang berkacak pinggang lantas melirik sepeda Naya. Naya hanya berkata pergi ke depan komplek untuk jajan kepada Adi. Bukan pergi sejauh ini.

"Pake sepeda pergi sejauh ini, kamu les pake motor aja banyak ngeluh, nggak takut kalau kecapekan di jalan dan nggak bisa pulang?" Tatapan tajam Raditya beradu dengan mata Naya yang sejak tadi tak beralih. Entah terlalu sopan ketika diajak bicara atau terlalu berani menghadapi kemarahannya.  

"Punya hp nggak bisa dihubungin, buat apa hp kamu?"

"Hpku mati." Naya menjawab. Ia nampak berani dan tenang menghadapi sang Papa meski sudah diomeli sepanjang itu.

Raditya membuang napas sambil meluruskan tangan. Ia melirik ponsel yang tergeletak dan Apple Watch di tangan Naya.

"Pulang sekarang, masukin sepedanya ke mobil." Pria itu berbalik badan. Sudah malas berbicara lagi jika Naya bisa membuat seribu alasan.

Naya menahan senyum. Dia tak akan merasa lelah mengayuh sepedanya lagi. 

Membuka pintu bagasi, Raditya mengambil alih sepeda yang Naya tuntun untuk dimasukkan mobil. Ia lalu berbalik lebih dulu mengambil ponsel Naya, sampah dua permen, dan susu kemasan di kursi.

"Masuk!" Tak mau membuat Papanya murka, Naya yang mematung itu langsung masuk ke mobil SUV Papanya yang jarang ia naiki. 

Selama perjalanan Naya hanya diam dengan punggung bersandar nyaman. Sesekali matanya memperhatikan Raditya dan ponselnya yang tak berani ia ambil dari dashboard.

"Beli makanan dulu, mau beli apa?" Bahkan itu adalah kalimat pertama yang memecah keheningan.

Naya terlihat berpikir dan menjawab dengan deheman pendek. "Nasi goreng di depan aja mau nggak, Pa?"

SAKYA CITRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang