"Pegel juga duduk lama." Bastian terlihat kesusahan dengan cara berdirinya yang perlahan dan sambil memegang punggung.
"Kalah lo sama kakek gue yang masih bisa salto. Lo berdiri aja keliatan susah, udah simulasi lamsia?" Tas hitam yang baru saja Arya kaitkan di bahunya sontak menjadi sasaran pukulan tangan Bastian.
"Maklum tadi duduknya, kan buat belajar. Coba kalau main PS, patung aja bisa kalah anteng sama dia saking betahnya main." Suara Alfian disambut beberapa kekehan renyah pendengarnya.
Naya mengulum senyum seraya mengangkat jaket yang digunakan menutupi paha. Ia berdiri dan lebih merapikan bantal sofa mendekat ke teman-temannya untuk berpamitan kepada Arawinda.
Naya menahan tawa seraya mengangkat jaket yang ia gunakan untuk menutupi paha. Ia berdiri dan lebih merapikan bantal sofa seperti semula sebelum bergabung dengan teman-temannya berpamitan kepada tuan rumah.
"Udah gitu aja," cegah Regan yang dibalas senyum tipis oleh Naya.
Arya lebih dulu berpamitan sekaligus menjadi wakil teman-temannya. Tak jauh berbeda dengan yang lain, Naya tetap mengucap pamit secara pribadi dan juga terima kasih ketika menjabat tangan mama Regan.
"Balik dulu, Gan, tenang aja kapan-kapan gue pasti kesini lagi." Bastian mengajak Regan bersalaman dengan posisi seperti adu panco. Cowok jangkung yang masih mengenakan seragam abu khas Persada itu hanya berdehem untuk mengiyakan.
"Kayaknya lebih bagus kalau dia nggak kesini, ya, nggak?" Bibir Regan berganti tersenyum merespon ucapan Arya kala tangan keduanya menyatu.
"Balik dulu, thanks ya."
"Yoi, hati-hati." Regan memberi balasan serupa sampai teman cowoknya selesai berpamitan.
Setelahnya Naya yang merasa akan menjadi penerus pertama keempat cowok itu kebingungan. Shifa yang sengaja mencari posisi di belakangnya mendorong halus punggungnya dengan telunjuk, menyuruh Naya mengawali.
Napas Naya tertahan sejenak bersama dengan jantung yang kian berdebar. Rasanya sangat rumit saat ia sampai di depan Regan dan menatap sorot teduh yang menyihirnya menjadi tenang.
"Mau pulang, thanks ya." Tangan Naya tertahan oleh keraguannya di sisi tubuh. Namun itu semua terhempas ketika tangan Regan terangkat, mengartikan bahwa cowok itu juga menginginkan tangan keduanya bersentuhan sebagai tanda pamit.
Dua sudut bibir Naya terangkat merasakan telapak tangan mereka menempel dengan jari yang saling mencengkeram.
Regan tersenyum kecil seraya menggerakkan jempolnya ke bawah. Mengusap punggung tangan Naya sebanyak satu kali dan membalas ucapan Naya, "Hati-hati pulangnya."
Ia terpaksa melonggarkan genggamannya pada tangan yang telah mengirimkan kode minta dilepaskan.
"Pulang, ya, makasih." Tingkah Shifa yang menangkupkan tangan di depan dada mengundang dengusan geli dari tuan muda pemilik rumah dan pasangannya.
Seusai mengantarkan tamunya yang pulang sampai depan rumah, Regan kembali bersila di meja ruang tengah.
"Yang cewek-cewek tadi sekelas sama kamu?" Regan urung menyuapkan potongan brownies ketika Mamanya bertanya.
"Beda kelas."
"Kok bisa kamu temenan sama mereka?" Arisha bergerak memberesi meja sambil mengorek informasi.
"Kelasnya sebelahan, mereka juga bawaannya Alfian sama Bastian."
"Kamu sebelumnya udah tau kalau ayah Zahra temennya Papa?"
"Nggak tau juga, ayahnya Zahra aja nggak tau. Nggak tau semua aku, Ma." Regan lebih fokus terhadap rasa nikmat brownies di mulutnya ketimbang urusan silsilah yang sedikitpun tak menarik perhatiannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SAKYA CITRA
Roman pour AdolescentsAwalnya Regan menganggap Naya biasa, sama seperti perempuan kebanyakan yang tak ia perhatikan lebih. Mengabaikan kecantikan Naya dan pamornya di Persada yang mudah membuat cowok bertekuk lutut, tapi perasaan itu bisa dinamis. Ia tak tau kalau akhirn...