34

18 0 0
                                    

Vote dulu baru baca😆

Setidaknya setitik beban pikiran Naya hilang, tapi masalah itu seperti ombak. Datang secara bergantian dalam waktu yang tidak tetap. Juga kapasitas yang tidak diprediksi.

"Beliau kakek Naya." Hendri menjawab kebingungan orang-orang akan kedatangan dua pria berbeda usia yang tak masuk dalam daftar undangan.

Sementara Bu Ajeng segera berbisik kepada Pak B yang kemudian mengeluarkan kalimat sambutan. "Silahkan duduk, Pak Damar!"

Pria lanjut usia berbaju batik panjang itu tersenyum tipis. Duduk di sisi Naya setelah Hendri tanggap mempersilahkan tempatnya.

"Saya datang ke sini untuk Naya."

Tiga tatapan masih menyimpan tanda tanya. Siapa pria yang datang dengan seseorang berjas rapi sementara wajahnya seperti tak asing tapi masih sulit dikenali.

"Siapa sebenarnya yang jadi wali Naya, kenapa bukan orang tuanya?"

Pak B berdehem. Makin gugup kala wali muridnya itu belum sepenuhnya emosinya padam.

"Bu, orang tua Naya sedang dalam perjalanan. Jadi Pak Damar Hasbian menggantikan agar masalah dapat segera diselesaikan." Pak B sengaja menyebut lengkap untuk menunjukkan tanda.

Mama Anya memasang raut wajah terkejut setelah berhasil melerai benang kusut di pikirannya. "Anda Pak Damar Hasbian?"

Damar hanya tersenyum tipis. "Anda kurang berkenan karena bukan orang tuanya yang datang?"

Mama Anya tak menjawab. Pak B segera meringkas segala peristiwa yang terjadi untuk kakek Naya. Selesainya itu Mama Anya langsung menyampaikan rasa bersalah dengan rasa malu.

"Saya mewakili anak saya meminta maaf sebesar-besarnya atas kesalahpahaman yang terjadi, Pak. Saya juga berharap masalah ini tidak merusak pertemanan mereka dan semoga bisa dijadikan sebuah pelajaran bagi kami terutama Anya sendiri." Kemudian tangannya diam-diam menyentuh paha Anya yang langsung paham langkah apa yang perlu dilakukan. 

"G-gue minta maaf, Nay buat semuanya," katanya dengan suara kecil dan kembali menunduk. 

Naya masih marah, terbukti sengaja membuang pandangan. Damar memaklumi, paham dengan cucu yang masa kecilnya diasuh di tempat tinggalnya.

"Ya, saya paham maksud anda, meski sejujurnya saya kecewa. Apalagi yang mengalaminya secara langsung, kan?"

"Seperti yang anda harapkan agar ini menjadi pelajaran, saya juga berharap ini kejadian terakhir. Tidak ada kejadian sama yang terjadi kedepannya baik kepada Naya ataupun semua." Damar melirik Naya yang ekspresinya belum melunak.

"Bagaimana, Nak Naya?" Pak B angkat bicara. 

"Ya, saya anggap selesai." Bahkan tanpa bertanya pun semua tau kalau suara itu belum sepenuhnya dari hati.

"Nah, semua saling memaafkan ya. Dari pihak sekolah kami memiliki harapan yang sama agar kejadian ini dijadikan pelajaran dan tidak berpengaruh dalam pertemanan kalian sebagai bagian dari Persada."

"Untuk permasalahan hukuman sendiri, bukannya ini kedua kalinya mereka bertengkar?"

Pak B keringat dingin. Bukannya terdengar aneh kalau orang menanyakan hukuman sementara orang lain tak mengharapkan hal tersebut?

•●Sakya Citra●•

Urusan belum selesai setelah Pak B memulangkan dua orang. Dia gantian sepenuhnya berhadapan dengan satu orang yang masih beratnya di pikiran.

"Jadi begini, Pak…." Masih dengan penuh kehati-hatian dan pemilihan kata yang tepat Pak B memberi penjelasan. Aura dari pria baya itu membuatnya gerah. Apalagi balasan untuk kalimatnya.  

SAKYA CITRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang