Naya hampir meremat surat di tangannya jika tak mengingat dia masih harus menjadi murid Persada. Napasnya berembus pelan sebelum mendorong pintu ruang kerja yang telah sedikit terbuka.
Tatapan Raditya beralih dari dokumen yang dibaca mendengar kedatangan Naya. "Duduk!" suruhnya segera menyudahi kegiatannya. Seperti biasa dia menempati sofa tunggal dengan Naya di sofa panjang.
"Berantem sama siapa?" Raditya menilik surat berkop SMA Persada di permukaan meja.
"Temen sekelas." Naya menjawab enggan.
Belvina kemudian muncul. Ia menerima surat pernyataan itu begitu mendudukan diri di sisi Naya.
"Kamu ada masalah apa sama temen kamu bisa sampe berantem?"
Naya menjawab tanpa menatap orang tuanya. "Biasa, dia aja yang cari gara-gara."
"Kalau tau dia cari gara-gara nggak usah diladenin."
Tatapan cewek itu berubah kesal ke arah Papanya. "Aku cuma nglindungin diri waktu dia ngajak berantem," belanya jujur.
"Tapi kamu pasti bales omongan dia."
Napas Naya berembus keras. "Aku diempun juga pasti salah."
"Cara nanganin kamu udah salah. Kalau sekiranya nggak bisa diem dan sabar ngadepin dia, pergi. Nggak usah ladenin, bikin urusan makin panjang. Punya masalah apa kamu sama dia?" omel Raditya panjang.
"Bukan aku yang punya masalah. Dia yang cari masalah sama aku, nyindir-nyindir aku, ngomongin yang enggak-enggak tentang aku." Alis Naya berkerut kesal ketika menekan nada agar tak meninggi.
"Dari omongan aja bisa bikin kalian berantem?"
"Dia yang pertama kali mulai, bukan aku!" Naya setengah kesal setengah lelah menjelaskan kalau dirinya itu korban.
"Kamu juga salah, Naya!" vonis Papanya membuat Naya emosi. "Nggak malu udah gede masih berantem kayak anak kecil? Jambak-jambakan kalian tadi?" Nadanya mulai meninggi, memancing Naya menggunakan hal yang sama.
"Papa pikir aku nggak punya malu?" Tatapan Naya bengisnya lantas melemah, teringat dengan hinaan yang ia terima. "Aku udah mati-matian diem biar nggak ada keributan."
"Kenapa kamu nggak langsung pergi aja? Pake cara paling bener buat ngadepin itu? Kamu pikir kamu bisa terus-terusan diem meski kamu mati-matian berusaha sedangkan temen kamu mancing emosi kamu terus-terusan?" Raditya berucap cepat.
"Papa nggak ngerti!" Napas Naya terengah, menahan suaranya agar tak memekik. Matanya lantas dihiasi embun tipis yang sama sekali tak membuat air muka Papanya berubah, tetap datar.
"Pa…." Belvina menginterupsi. Berharap suaminya berhenti dan menggunakan cara lain untuk membuat Naya luluh memberi penjelasan.
"Kalau Mama nggak tanya, kamu mau nyembunyiin surat pernyataan ini?"
Naya memasang wajah tak terima dengan nada menuduh Papanya. "Aku tetep bakal kasih tau!" Dia akan jujur tapi perlu waktu dan keberanian untuk berbicara.
"Kalau temen kamu ngomongin kamu yang enggak-enggak, dia pasti punya alasan. Kamu tau alesan atau letak kesalahan kamu dimana?" Raditya mencerca, seolah sumber masalah itu terletak pada Naya.
Naya merasa ulu hatinya dipukul keras oleh pertanyaan ayahnya yang membuatnya menarik kesimpulan buruk. "Papa masih mikir kalau aku yang salah, sumber masalahnya dari aku?"
"Kalian permasalahin cowok?"
Naya tak menjawab, menatap Papanya berani. "Papa malu karena aku masuk BK dan dapet poin? Aku malu-maluin Papa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
SAKYA CITRA
Fiksi RemajaAwalnya Regan menganggap Naya biasa, sama seperti perempuan kebanyakan yang tak ia perhatikan lebih. Mengabaikan kecantikan Naya dan pamornya di Persada yang mudah membuat cowok bertekuk lutut, tapi perasaan itu bisa dinamis. Ia tak tau kalau akhirn...