2. Terlupakan

6.5K 503 5
                                    

"Kenapa sih kita selalu nyanyiin 'Allahummarhamna bil quran' kalau sudah selesai ngaji ustadzah? Apa kalau tidak nyanyi itu akan berdosa?"

Mata lebar dengan bulu lentik itu mengerjap lucu. Menggemaskan sekali. Membuat sang empu yang ditanyai tersenyum lebar dan sedikit merasa geli dengan pertanyaan polos anak kecil itu.

"Itu doa sayang, bukan nyanyi." Rara terkekeh mendengar pertanyaan selucu itu.

"Setelah kita membaca Alquran, kita berdoa kepada Allah. Semoga Allah merahmati kita dari bacaan Alquran yang telah kita baca. Dan berdoa semoga Alquran menjadi imam, cahaya dan petunjuk bagi kita. Dan berdoa kepada Allah serta memohonkan segala keinginan kita kepada Allah hukumnya wajib. Yang berdosa itu, kalau kita berdoa bukan kepada Allah. Faham?"

"Apa aja semua harus minta kepada Allah, ustadzah? Semua-muanya?" Tangan Lala merentang lurus menggambarkan besarnya hal yang ia maksud. Gadis kecil itu bahkan sampai berdiri dengan mata yang ia lebarkan dan mulut yang terbuka. Spontan tawa Rara menggema di teras belakang rumah yang terdapat kolam renang dan taman bonsai kesukaan mami anak yang sedang ia ajar.

"Iya, sayang. Semuanya" Rara merentangkan tangannya mengikuti gerakan Lala. Mengajar anak lucu ini mengembalikan semangatnya yang surut sejak pagi akibat kurang tidur semalaman.

Ditambah jadwal mengajar yang seharusnya ba'da ashar dimajukan oleh Shella menjadi jam sepuluh pagi sebab sorenya keluarga itu akan ada acara diluar.

Namun justru diluar dugaan, mengajar yang Rara kira akan sedikit kurang menyenangkan justru menumbuhkan semangatnya. Pertanyaan demi pertanyaan polos gadis kecil ini benar-benar diluar perkiraan Rara. Dan menjawab pertanyaan Lala menjadi hal yang menyenangkan dan menumbuhkan semangatnya lagi.

Sungguh, Allah tau yang Rara butuhkan. Subhanallah.

"Sudahan ngajinya, Ra? Bantuin mbak potong buah yuk. Mau ada tamu makan siang bareng disini, nih."

Shella dengan setelan rumahan casualnya tampak merapihkan rambut pirangnya yang indah bergelombang.

"Oke."

Rara dan Lala menjawab dengan serentak. Keduanya langsung menuju dapur yang tak jauh dari teras belakang.

"Lala, kamu duduk depan TV saja sayang. Kalau ada tamu langsung bilang mami ya." Titah Shella dengan tubuh menunduk mengambil piring dari bufet dapur.

"Iihh... Mami ini gimana sih? Lala kan mau bantuin potong buah. Biar dapat pahala." Bibir gadis kecil itu mengerucut tidak terima dengan perintah sang ibu. Namun tangannya menengadah seolah sedang berdoa.

"Mami benar sayang. Pisaunya tajam. Takut tangan Lala terluka. Bantu yang lainnya saja ya? Nungguin tamu datang juga membantu namanya. Lala kan anak surga."

Kedipan satu mata dari sang guru menerbitkan senyum gadis cilik yang sedang merajuk itu. Sang gadis pun langsung berlari menuju ruang tengah dengan TV yang telah menyala menayangkan kartun cerita anak Indonesia dalam sebuah perkampungan pinggiran dengan tokoh utama seorang anak laki-laki dan adik perempuannyaya yang masih merangkak.

"Nurut banget dia sama kamu, Ra. Sumpah. Cepetan nikah, gih. Nggak kebayang manjanya anakmu sama kamu nanti."

Shella yang sedang membersihkan piring dengan lap masih terheran-heran dengan sikap anaknya. Bagaimana bisa? Ia yang ibunya sangat sering berdebat dan lebih banyak dibantah oleh anaknya. Tetapi jika Rara yang meminta anak itu untuk melakukan sesuatu, maka tak perlu mengulang dua kali maupun merayu, maka Lala akan langsung melakukannya dengan tanpa protes. Aneh kan?

Rara yang mendengar jelas saran Shella hanya geleng-geleng kepala dan terus fokus memotong semangka kuning tanpa biji dihadapannya.

Membantu Shella didapur bukan hal baru baginya. Bahkan, tak jarang iapun ikut makan bersama keluarga itu. Shella telah menganggapnya seperti adik sendiri. Dan sudah tak ada kata canggung bagi mereka dalam berinteraksi. Pembawaan karakter Shella yang santai membuat Rara yang awalnya sungkan menjadi nyaman. Makanya ia betah mengajar Lala setahun belakangan ini.

(Mantan) Tunangan (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang