Copyright © 2021 by Cindy Handoko
Catherine Maxwell.
Sampai beberapa hari yang lalu, saat mendengar nama itu, yang muncul di benakku adalah cewek setengah bule berparas bak dewi yang ramah pada semua orang. Cewek rajin yang tinggal di kamar sebelah, yang selalu bangun pagi-pagi sekali dan menyapa siapapun yang berpapasan dengannya seperti teman akrab. Cewek yang sebulan silam masih datang pada kami dengan ketakutan selepas diteror psikopat haus darah, akibat turut memelopori penyelidikan rahasia mengenai kasus-kasus percobaan pembunuhan yang selama sembilan tahun terus terjadi di sekolah sekaligus panti asuhan tempat kami tinggal. Cewek yang berangkat ke Bandung untuk menjalani karantina lomba eksak nasional yang lama kuidam-idamkan, hanya untuk dicelakai oleh psikopat yang sama hingga nyaris tak bernyawa...
Namun, berita di televisi kemarin sore, didukung pengakuan Gwen, telah mengubah segalanya dalam sekejap mata, dan aku pun ditinggalkan bertanya-tanya.
Siapa Catherine Maxwell?
Benarkah ia, di balik topeng cewek polos dan baik hati yang selalu dikenakannya, telah mendorong Gwen hingga hampir mati tenggelam di kolam taman belakang asrama tujuh tahun lalu? Benarkah ia turut terlibat dalam kasus percobaan pembunuhan tahunan itu dan telah memalsukan teror untuk dirinya sendiri, sampai menyeret orang asing tidak bersalah untuk berpura-pura menjadi dirinya yang terbaring koma di rumah sakit? Apakah selama ini, Catherine yang kami kenal sebagai anggota berharga dari tim detektif kecil-kecilan kami, hanyalah sebuah peran yang dimainkannya untuk mengelabui semua orang?
Aku menatap layar ponsel yang menampilkan berita mengenai Catherine sambil mendesah panjang. Saat ini, status cewek itu adalah orang hilang. Tidak ada bukti langsung bahwa ia terlibat dengan Willy, Alexa, atau orang dewasa yang dipercaya oleh polisi sebagai Pak Stenley, kepala panti kami, yang secara terang-terangan telah terungkap sebagai pelaku tindak kejahatan di panti asuhan. Orang yang dicelakai hingga koma di rumah sakit itu juga tidak mengingat ciri-ciri pelaku, sehingga yang terbaik yang bisa dilakukan oleh polisi hanyalah mencari Catherine terlebih dahulu.
Berita mengenai Catherine bukan satu-satunya hal yang menarik perhatian media tentang panti asuhan kami. Akhir-akhir ini, aku merasa seperti fosil dinosaurus yang tinggal di museum saking banyaknya wartawan yang berkeliaran dan orang biasa yang sengaja datang untuk melihat panti asuhan terkutuk yang sedang heboh di mana-mana, kendati kedatangan mereka semata-mata hanya untuk menggali lebih jauh soal Pak Stenley dan Alexa, alih-alih mencari petunjuk baru mengenai penyelidikan ini.
Ada banyak kabar mengenai tempat tinggal kami: Pertama, berita mengenai kasus percobaan pembunuhan yang telah ditutupi selama bertahun-tahun oleh Pak Stenley. Kedua, berita mengenai kematian Willy, teman kami yang juga merupakan salah satu pelaku, yang dipalsukan sebagai kecelakaan biasa. Ketiga, berita mengenai penggalian emas yang dilakukan oleh Alexa dan antek-anteknya di markas bawah tanah rahasia mereka di sekolah, yang dibarengi dengan penyekapan dan penyiksaan empat orang sandera: Andrea, saudara kembar Alexa yang dicuri identitasnya selama hampir dua minggu untuk menghindari kehebohan, Kimberly, anak cheerleaders yang kini harus kehilangan satu kakinya akibat luka tembak, Luke, wakil kapten tim basket yang kuketuai, dan Rosaline, salah satu anggota tim detektif yang kupimpin.
Tetapi, yang paling heboh akhir-akhir ini adalah berita mengenai Pak Stenley, yang saat ini berstatus terdakwa pasca ditemukannya barang-barang bukti keterlibatan di kantor beliau, termasuk panah yang membunuh almarhum Willy. Kesaksian Alexa dan Luke pun turut memperkuat dugaan ini, walaupun tidak sepenuhnya dipandang valid karena: 1) Biar bagaimana pun, Alexa adalah pelaku, dan 2) Luke berada di bawah pengaruh narkotika selama penyekapan, sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa ia mengalami halusinasi. Tetapi, barang bukti memang tidak bisa berbohong. Kini, kepala sekolah kami itu resmi menjadi tahanan, menanti sidang yang dijadwalkan untuk dua minggu mendatang, dan posisi beliau di panti asuhan digantikan sementara oleh wakil kepala, Pak Joseph.
Kacau sekali, batinku kalut.
Namun, di tengah kekacauan itu, pikiranku tidak sedetik pun lepas dari Catherine. Memang benar, kita tidak bisa mengenal seseorang sebaik yang kita kira. Tetapi, kalau Catherine saja tidak bisa dipercaya, bagaimana dengan Gwen? Cewek yang selama bertahun-tahun mengasingkan semua orang dan bersikap seolah-olah kami adalah musuh, apakah bisa dipercaya begitu saja?
Keraguan itu sepertinya tidak ikut dirasakan oleh sohibku, Joshua. Sejak kembalinya Gwen dari rumah sakit kemarin malam, kendati tidak mengatakan apa-apa, aku tahu ia merasa lega. Sebelum aku masuk ke panti asuhan di usia sembilan tahun, sohibku itu memang lebih dulu dekat dengan Gwen, walaupun selama tujuh tahun terakhir ini, sejak tenggelamnya Gwen di kolam saat itu, mereka hampir seperti orang asing yang tidak pernah berkomunikasi. Kalau aku mengungkapkan keraguanku pada Joshua, apakah akan ada gunanya?
Ah, sudahlah, batinku sambil menghela napas panjang. Saat ini, ada yang lebih penting.
Aku mengetuk pintu kamar di hadapanku perlahan. "Lice?" panggilku.
Tidak ada jawaban.
Sore ini, aku mengajak yang lain berkumpul lagi setelah sekian lama. Kebetulan, Gwen dan Rosaline baru saja kembali dari rumah sakit dan mereka, bersama dengan Luke yang akan ikut kembali siang nanti, harus memenuhi panggilan polisi sore ini, sehingga aku merasa ini adalah kesempatan yang bagus untuk mencari pergantian suasana dan barangkali mendapatkan perspektif baru mengenai kasus pelik yang terjadi. Tetapi, sebelum itu, aku ingin memastikan Alice baik-baik saja, sebab hatiku ikut hancur membayangkan syok yang pasti dialaminya saat mendengar kemungkinan keterlibatan Catherine dalam kasus ini. Tambahan lagi, sepanjang malam, selagi berbaring memandang langit-langit, aku terus mendengar suara isakan dari kamarnya.
"Lice, gue boleh masuk?" tanyaku sekali lagi.
Kali ini, suara Alice yang tak bertenaga menyahut dari dalam kamar, "Masuk aja, Bry."
Aku membuka pintu dengan hati-hati dan langsung disambut oleh pemandangan yang memilukan: Alice, dengan mata sembab dan rambut diikat dua asal-asalan, sedang duduk sambil memeluk bantal di atas kasurnya. Melihatku, ia memaksakan seulas senyum kaku. Tetapi, aku bisa merasakan kesedihan dalam tatapan matanya.
"Lo bangun pagi seperti biasa, ya," katanya dengan suara sumbang habis menangis.
Aku tidak mengatakan apa-apa, hanya duduk bersila di lantai di hadapannya. "Sabar, ya, Lice," ujarku, "Gue disini, kok. Gue bakal selalu ada di sisi lo."
Saat mengatakan itu, aku tidak berharap ia percaya padaku. Biar bagaimanapun, teman sekamar yang dianggapnya sahabat dan dipercayainya dengan sepenuh hati baru saja ditetapkan sebagai orang hilang, kemungkinan tergabung dalam kelompok kriminal yang merenggut nyawa kedua orang tuanya. Sekarang, sah-sah saja kalau ia mau mencurigai semua orang, seperti aku yang juga bingung harus menaruh kepercayaan pada siapa. Tetapi, aku tetap ingin memberitahunya itu, sebab aku ingin ia tahu bahwa untuknya, aku akan melakukan apa saja.
"Iya, thank you untuk yang kesekian kalinya, Bry," balasnya sambil tersenyum getir. "Lo emang selalu ada pas gue lagi down begini, ya."
Seperti yang seharusnya, balasku dalam hati.
Alice melempar pandangan ke kejauhan dengan kosong. Saat melihat sorot mata itu, sebuah pertanyaan terlintas dalam benakku: Apakah sesuatu telah retak di dalam dirinya? Dan seperti itu pula, apakah setelah semua ini berakhir, ada satu pun di antara kami yang bisa lolos tanpa goresan luka?
----------
KAMU SEDANG MEMBACA
Mystery of the Orphanage: Fall of the Last Fortress
Mystery / ThrillerHancur. Itulah kata yang paling tepat untuk mendeskripsikan Panti Asuhan Bakti Mulia setelah kepala sekolah mereka, Pak Stenley, menjadi terdakwa atas kasus yang menimpa anak-anak asuhnya. Seluruh sistem panti asuhan berantakan, korban penculikan me...