30. Catherine

67 18 8
                                    

Copyright © 2021 by Viona Angelica

"Untung Stalker sempat mendengar rencana mereka dan langsung melapor. Kalau nggak, sudah nggak tahu Papa jadi apa sekarang karena kalian tertangkap," kata Papa sambil menggosok dahinya yang mulai berkerut.

Saat ini, kami sudah sampai di ruang monitor markas besar dengan aman. Polisi sudah kehilangan jejak kami dan artinya kami selamat. Stalker juga sudah memberikan pesan pada kami bahwa ia sudah kembali ke panti asuhan dengan selamat.

"Maaf, Pa. Semua gara-gara Princess." sahutku sambil menunduk dalam-dalam.

"Iya, tuh. Seandainya lo nggak nelepon sahabat lo itu, markas pribadi kita nggak bakal ketahuan polisi, kan? Apalagi gue nggak tahu, di sana kita ada ninggal jejak apa." sahut Jennifer ketus sambil memberikan penekanan pada kata 'sahabat'.

Aku selalu berpikir Jennifer sedikit iri padaku. Selama bertahun-tahun, ia dikurung dan dipaksa untuk tidak menampakkan diri pada siapa pun, sementara aku diizinkan untuk keluar dan menjalani hidup normal, termasuk berteman dengan banyak orang. Walaupun ia berdalih bahwa itu dilakukannya secara sukarela untuk membantu Papa, dan walaupun ia masih bisa berinteraksi dengan anak-anak didikan Papa, pasti ia kesepian, sehingga menjadi sensitif tiap kali mendengarku membicarakan soal teman-temanku, terutama sahabat baruku, Alice.

"Tapi, aku kan nggak bermaksud—"

"Ya seenggaknya lo bisa nelepon dari jauh kek, di mana kek, asal jangan markas favorit gue!" Jenni memotong frustrasi, tampaknya sangat marah padaku.

"Tapi kemarin ulang tahun Alice... Terus, kamu juga habis bikin dia celaka. Masa aku—"

"Intinya, lo idiot. Titik. Kesel, gue. Pokoknya gue bakal—"

"Sudah, sudah. Yang sudah berlalu, biar berlalu. Jangan bertindak gegabah lagi, ya." kata Papa menengahi. "Soal jejak, kamu sudah memastikan Princess menggunakan sarung tangan waktu memegang barang, kan?"

"Sudah, sih. Tapi tetap aja, Pa... Waktu pengejaran, mereka berhasil lihat rambutku gara-gara waktu itu kita nggak bawa wig ke sana. Trus, di rumah itu, ada foto-foto yang bisa nunjukin kita terlibat sama kasus bajingan Walker itu," jelas Jenni.

"Hmm..." Papa bergumam. "Nggak apa-apa. Lagipula rambut pirang juga bukan cuma milik kalian."

"Tapi, mereka pasti langsung ngehubungin ini semua ke Princess, sih. Apalagi, Princess habis telepon kayak gitu. Belum lagi di sana ada papan itu." adu Jenni, lagi-lagi memojokkanku.

Sepertinya Jenni belum sadar soal kalung yang berhasil direbut oleh Gwen. Mungkin sebaiknnya aku diam saja, lagipula kalau mereka mulai mencurigai aku tapi tidak bisa menangkapku kan sama saja. Dan saat ini posisiku juga sudah sebagai orang hilang sekaligus tersangka yang melukai anak berambut pirang di karantina.

"Nggak apa-apa, yang penting kalian jangan sampai kelihatan berkeliaran lagi saja. Nanti Papa hubungi polisi buat menutupi bukti itu juga supaya aman dan nggak menghambat kelancaran sidang. Kalau soal anak-anak yang menemukan papan itu, malah bisa jadi bagus karena itu menunjukkan kalau kita mengetahui kelemahan terdalam mereka, membuat mereka makin tertekan. Dan dengan menunjukkan kelemahan itu di depan umum, psikologis mereka pasti terpengaruh. Minimal merasa malu atau tidak nyaman satu sama lain. Kalau beruntung, mungkin kita bisa lebih cepat memecah belah mereka. Itu yang kamu inginkan dari mainan-mainan kecilmu itu, kan?" jelas Papa. "Yang penting jangan sampai lupa untuk membawa penyamaran, Princess, jangan menyelinap lagi kalau kamu nggak mau membuat rencana Papa hancur berantakan. Kamu nggak mau mencelakai Papa kan, Nak?" sahut Papa tersenyum sambil mengelus rambut kami berdua. "Sudah, lebih baik sekarang kalian mandi dulu aja. Bau sampahnya masih tercium sekali."

Mystery of the Orphanage: Fall of the Last FortressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang