Copyright © 2021 by Cindy Handoko
Kami boleh keluar dari rumah sakit hampir seketika.
Dalam waktu beberapa jam saja, kami bertujuh sudah tiba di panti asuhan; Alice masih berpenampilan setengah mumi akibat luka kecelakaannya kemarin, aku masih kelihatan seperti Jake Gittes dari film Chinatown yang kutonton bersama Sam beberapa waktu lalu, dengan perban raksasa melintangi batang hidungku, dan Bryan, juga dengan perban di tangan kanannya, masih berjalan setengah engklek memasuki bangunan asrama. Terlepas dari kondisi Gwen, Andrew, Rosa, dan Sam yang tampak normal, kami pasti geng yang kelihatan sangat janggal. Untungnya, kami berhasil masuk tanpa mengundang terlalu banyak perhatian karena hari sudah malam.
"Gue masih yakin Pak Owen bersih," Bryan mengungkapkan pemikirannya begitu aku dan dia sudah berada di dalam kamarnya, hanya berdua saja. Alice, yang sekarang jadi penghuni tetap kamar ini, sedang keluar mengambil krim untuk mengurut kaki Bryan yang terkilir, ditemani oleh Rosa. Sedangkan Andrew, si penumpang gelap, pergi entah ke mana.
"Agak aneh, memang," komentarku, masih belum bisa melepaskan pandangan dari lengan kanan Bryan yang dibebat perban. Sulit rasanya membayangkan sobatku itu harus rela berhenti bermain basket, setidaknya untuk sementara waktu. Bahkan, mungkin ia harus melepaskan jabatan kapten yang menjadi kebanggaannya itu. Aku jadi ingin cepat-cepat menangkap Panji dan mematahkan tulang-tulang di tubuhnya. Tetapi, menghadapi masalah ini, kepalaku harus dingin. Jadi, aku pun kembali fokus dan berkata, "Beliau selaku polisi, kan, udah tau kalo masalah deep web nggak bisa bikin Andrew dipidana. Jadi, janggal aja kalo dibocorin. Kayak, buat apa? Gitu."
"Gue juga mikirnya gitu." Bryan terpekur. Tidak sepertiku, ia malah tampak tidak peduli terhadap lengannya sendiri. "Tapi, bisa aja dia bocorin keseluruhan cerita kita, dan masalah deep web kebetulan bagian dari cerita itu, sehingga ikut bocor. Makanya, tadi, pas ditanya Gwen, gue nggak bisa jawab alesan logisnya apa. Soalnya, emang nggak ada. Gue nggak tahu kenapa, yakin aja soal itu."
"Ya menurut gue, setidaknya masalah The Hawks kayaknya masih bisa ditangani tanpa bantuan beliau, sih, walaupun jelas lebih susah. Jadi, di-pending dulu aja soal beliau bersih atau nggak. Sementara ini, kita fokus nyari Panji aja," saranku.
"Masalahnya," Bryan meraih ponsel di nakas dan menghadapkan layarnya ke arahku.
5 missed calls
Semuanya dari Pak Owen.
"Wow," komentarku dengan dahi berkerut. "Kenapa, tuh?"
"Nggak tahu," jawab Bryan. Tepat pada saat itu juga, sebuah panggilan baru masuk, masih dari Pak Owen. "Gue nggak berani jawab, sampe gue silent. Soalnya, pasti bakal kelihatan banget kalo gue menghindar. Malah mencurigakan, nanti. Secara, gue nggak bisa pura-pura."
"Sini, biar gue," aku segera menyahut ponsel itu dan mengangkat panggilan, membuat Bryan nyaris melompat dari posisi duduk untuk merebut benda itu. Tapi, terlambat, suara Pak Owen sudah terdengar dari ujung sambungan melalui loudspeaker.
"Bryan, untunglah! Kamu nggak apa-apa?"
"Halo, Pak," sapaku santai. "Maaf, ini Joshua. Bryan lagi tidur di dalem dan HP-nya di-silent. Tapi dia nggak apa-apa, kok."
"Oh, Joshua," Pak Owen menyahut lega. "Kalo kamu sendiri? Kamu nggak apa-apa? Gimana yang lain?"
"Kita semua nggak apa-apa, kok, Pak," aku menenangkan. "Ada apa, Pak?"
Pak Owen menghela napas panjang. "Gini. Saya to the point aja, ya. Soal papan berisi foto-foto kalian itu...," beliau akhirnya menjawab. "Kalian ini target. Kalian harus waspada. Saya tadi mau susulin ke rumah sakit, tapi telat karena ada urusan, dan waktu otewe ke sana, jalanan malah macet dan kalian keburu pulang. Saya telepon Bryan, nggak diangkat. Andrew, nggak diangkat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mystery of the Orphanage: Fall of the Last Fortress
Mystery / ThrillerHancur. Itulah kata yang paling tepat untuk mendeskripsikan Panti Asuhan Bakti Mulia setelah kepala sekolah mereka, Pak Stenley, menjadi terdakwa atas kasus yang menimpa anak-anak asuhnya. Seluruh sistem panti asuhan berantakan, korban penculikan me...