52. Joshua

38 13 0
                                    

Copyright © 2021 by Cindy Handoko

Andrew pergi.

Situasi di dalam ruangan berubah sunyi senyap begitu cowok itu dan rambut merahnya yang khas menghilang di pintu keluar, mungkin untuk selamanya. Aku, Bryan, Gwen, dan Sam hanya bisa duduk di tempat masing-masing tanpa mengatakan apa-apa.

Memangnya, apa yang bisa kami katakan?

Catherine, Andrew, dan sekarang... dia? Stalker, katanya... orang itu?

"Kalian percaya omongan dia?" Sam membuka suara. Untuk pertama kalinya, aku melihat bocah itu benar-benar serius dan terpukul. "Gue nggak paham semuanya, tapi gue nggak tahu harus percaya atau nggak. Mungkin gue lemot, tapi tolong, sekali ini aja, plis jelasin ke gue. Gue bener-bener nggak ngerti apa yang harus gue percaya."

"Sam," Bryan menyahut. "Kali ini, gue juga nggak ngerti."

Entah bagian mana dari kata-kata Bryan barusan yang membuat hatiku sakit. Apa yang dirasakannya sekarang? Apa yang dirasakan semua orang sekarang?

Apa yang kurasakan sekarang?

Rasanya semua orang di dunia ini palsu, dan segala hal yang kupercayai hanya ilusi. Termasuk... termasuk...

Sam dan Bryan berdiri dari tempat duduk mereka hampir bersamaan, membuat keduanya saling berpandangan.

"Lo mau ke mana?" tanya Bryan.

"Gue mau balik ke asrama," jawab Sam. "Nggak bakal aneh-aneh, kok. Gue cuma lagi nggak pengen lihat wajah kalian semua, bikin gue tambah merasa nggak ada harapan." Lalu, menyadari Gwen duduk di sebelahnya, Sam langsung menambahkan. "Bukan berarti wajah kalian kenapa-kenapa, gu-gue cuma mau sendiri—"

"Iya, iya, gue paham," potong Bryan. "Gue mau nyari Alice." Lalu, ia menoleh ke arahku. Tatapan matanya tampak lelah alih-alih marah. "Lo mau gimana, Josh?"

Aku menghela napas panjang. "Gue kayak biasa aja. Kayaknya, lebih baik kita semua juga pura-pura seolah-olah nggak ada yang terjadi. Gue tahu, bakal susah, sih, tapi... harus gitu, nggak, sih? Mereka nggak boleh tahu kita udah tahu semua ini, walaupun kita juga nggak tahu semua ini bener atau nggak."

Bryan mengangguk, tetapi pikirannya seperti berada di tempat lain. Biasanya aku bisa membaca pikiran sohibku itu, tetapi saat ini, mungkin saking kacaunya isi kepalanya, aku tidak tahu apa yang sedang dipikirkannya. "Kalo gitu, gue duluan. Kita ketemu lagi... besok, deh. Kayaknya kita sama-sama setuju kalo kita semua butuh waktu sendiri."

Setelah mengatakan itu, ia keluar, diikuti oleh Sam.

Suasana ruangan kembali senyap. Sekarang, hanya tinggal aku dan Gwen yang tersisa di sini, dan ada banyak sekali hal yang tak terkatakan menggantung di udara di antara kami. Aku menatap wajahnya, berusaha membaca ekspresinya. Tapi, entah aku atau semua orang yang terlalu kacau, hari ini, aku tidak bisa membaca apa-apa.

"Gwen," panggilku. Cewek itu menoleh dengan gerakan lemas. "Kamu butuh waktu sendiri?"

Gwen menatapku sejenak, lalu menjawab lirih. "Nggak."

"Kalo gitu, mau keluar sebentar?"

***

Sebenarnya, aku nggak tahu hendak berjalan ke mana. Yang jelas, pikiran untuk kembali ke panti asuhan saat ini membuatku merasa berat. Aku tidak ingin kembali. Kalau bisa, aku tidak mau kembali. Bahkan, di luar seperti ini saja, pikiranku tidak lepas dari kegundahan. Apa jadinya kalau aku berada di kamar sekarang?

Entah berapa lama kami berjalan dalam diam, tanpa sepatah kata pun keluar dari mulut masing-masing. Hingga akhirnya, Gwen membuka suara, membuat lamunanku buyar, "Ini di mana?"

Mystery of the Orphanage: Fall of the Last FortressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang