Copyright © 2021 by Cindy Handoko
Setelah kejadian Andrew waktu itu, aku belum bertemu anak-anak IMS sama sekali. Oke, mungkin pernyataan itu terdengar sedikit lebay karena kenyataannya, ini baru lewat dua puluh empat jam sejak aku dan Gwen memilih tersesat daripada harus kembali ke panti asuhan. Tetapi, mengingat sidang Pak Stenley sudah tinggal kurang dari tiga hari lagi, dua puluh empat jam tergolong waktu yang lama untuk dibuang-buang mendekam di kamar masing-masing.
Tapi, jujur saja, sampai saat ini pun, aku masih lebih memilih tersesat daripada berada di sini.
Angin malam yang menggigit berembus menerpa tubuhku, membuat bulu kudukku berdiri sesaat. Aku merapatkan jaket yang membalut tubuhku dan berdiri dari bangku taman. Sepertinya, bahkan jaketku yang ekstra tebal saja tidak bisa melindungiku dari rasa menggigil. Aku tahu nggak boleh berlama-lama di sini, tetapi aku belum ingin kembali ke kamar. Ruangan sempit itu benar-benar tempat terakhir yang ingin kumasuki saat ini.
Apa aku ke kamar Bryan, ya? Toh, aku belum sempat mengobrol dengannya tentang Andrew. Aku ingin tahu sohibku yang jenius itu punya pendapat apa.
Aku berjalan pelan meninggalkan taman, naik melalui tangga dengan langkah nyaris mengambang, hingga akhirnya tiba di depan pintu kamar Bryan yang tertutup rapat. Dari sela pintu, aku bisa melihat bahwa lampu kamar menyala, jadi cowok itu pasti ada di dalam.
"Bry?" aku mengetuk pintu. "Gue masuk, ya?"
Untung saja aku belum betulan masuk, karena saat pintu terbuka, yang muncul bukan sosok yang kuharapkan.
Alice membuka pintu dengan hati-hati, matanya yang bulat menatapku canggung. Saat melihat kemunculannya, aku baru ingat kalau sekarang dia tinggal di kamar Bryan. Cewek itu kelihatan jauh lebih baik daripada bayanganku. Memang, sih, ada sisa-sisa bengkak di matanya, tetapi penampilannya rapi dan ia pun nggak kelihatan baru menangis sebelum pintu dibuka.
Seharusnya aku bersyukur atau khawatir soal itu? Itu hal baik atau hal buruk? Aku jadi bingung sendiri.
"Eh, hai," sapaku canggung. "Bryan nggak ada di dalem?"
"Hai," Alice menyapa balik sambil tersenyum tipis. "Bryan... katanya tadi diajak ketemuan sama Pak Owen. Udah dari pulang sekolah, sih. Nggak tahu, kok belum balik jam segini."
"Oh..." gumamku.
Aku melirik jam pada ponselku. Angka di layarnya menunjukkan pukul 20.23. Berarti, terhitung sudah lebih dari lima jam Bryan nggak kembali. Memangnya, apa saja yang dibicarakan dengan Pak Owen sampai butuh waktu selama itu? Bahkan kalau ia menceritakan tentang Andrew pun, sepertinya nggak perlu makan waktu lima jam juga. Kecuali setelah ia bercerita, Pak Owen tiba-tiba menyeringai dan berkata, "Oh, begitu? Kelihatannya kamu sudah tahu terlalu banyak. Bos nggak akan suka itu", dan mengeluarkan selembar saputangan yang sudah disemprot obat bius...
Hei, otakku menegur. Sejak kapan kau jadi parnoan begini?
"Jadi, lo sendirian?" tanyaku berbasa-basi, untuk mengalihkan pikiran dari imajinasi tak berdasar itu. Alice mengangguk. "Butuh ditemenin? Atau... kalo masih butuh sendirian, gue pergi—"
"Thanks udah ngekhawatirin gue, tapi gue udah nggak apa-apa, kok," Alice menyahut sambil tersenyum.
"Udah nggak apa-apa?"
"Iya," jawab Alice. "Eh... ini kesannya kayak gue cuma ngayem-ngayemin lo, ya. Tapi beneran, kok. Sori kalo selama ini gue terlalu lembek dan cengeng sampe kalian mikir harus ngasih gue ruang buat bersedih terus. Kali ini, gue sadar harus bergerak, soalnya waktunya mepet. Makanya, gue juga selama di kamar udah mencoba mikirin beberapa rencana."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mystery of the Orphanage: Fall of the Last Fortress
Mystery / ThrillerHancur. Itulah kata yang paling tepat untuk mendeskripsikan Panti Asuhan Bakti Mulia setelah kepala sekolah mereka, Pak Stenley, menjadi terdakwa atas kasus yang menimpa anak-anak asuhnya. Seluruh sistem panti asuhan berantakan, korban penculikan me...