11. Andrew

57 16 0
                                    

Alice lagi berduaan di kamar terkunci bareng Bryan, lho.

Sejak meninggalkan kamar Alice setengah jam lalu, otakku tidak henti-hentinya mengumandangkan fakta itu. Meskipun baru beberapa hari yang lalu sepertinya aku ingin berdamai dengan Bryan Blake Bangsat itu, tapi kali ini dia sudah kelewatan. Mengajak Alice menginap di kamarnya yang dikunci dari dalam selama entah berapa hari, meskipun sejak kecil kami sudah dididik untuk tidak boleh melakukan kalian-tahu-sendiri-apa-itu, tapi kalau mereka menantang seperti ini...

Bryan kan juga cowok.

Dan aku tahu pasti sebajingan apa cowok-cowok biasanya—bukan berarti aku juga bajingan, sih, tapi memang godaan itu selalu ada. Apalagi, jika satu kamar berduaan dengan cewek yang kalian sukai. Meskipun aku yakin Bryan tidak separah Benny, yang sering mengajak cewek-cewek tak dikenal masuk ke ruangannya dan mengusir Rey keluar, tetap saja dia seorang cowok. Ini tidak bisa dibiarkan. Lagipula, aku juga tidak pernah bisa membaca apa yang ada di dalam otak Bryan. Bagaimana kalau ternyata mengajak Alice menginap adalah siasatnya untuk...

Aku harus ke sana.

Kuraih bantal dan selimutku dari dalam kamar, lalu bergegas lari menaiki tangga menuju kamar Bryan. Begitu sampai di lantai tiga, dapat kudengar alunan lagu bersumber dari kamar Bryan. Mereka tidak mungkin melakukan itu sambil mendengarkan musik, kan? Atau jangan-jangan, mereka malah menggunakan musik untuk meredam suara? Tapi, kenapa lagunya sedih begitu?

Kuangkat tanganku dan mulai mengetuk pintu yang sudah terkunci rapat di hadapanku. Beberapa menit kemudian, muncul Bryan dengan tampang super terkejut yang jarang ia pasang sehari-hari. Menyadari bahwa ia dan Alice tidur secara terpisah, dan Alice masih aman, mau tidak mau aku menyeringai lebar dengan sendirinya.

"Ngapain lo?" tanyanya sewot.

"Gue ikutan nginep, dong. Setelah gue pikir-pikir, masa gue tidur sendirian di saat genting kayak gini. Lo nggak takut gue diapa-apain Topeng Monyet?" sahutku.

"Nggak." balasnya bete. "Kamar gue nggak nerima lebih banyak orang lagi. Panas, tau. Lagian, Topeng Putih juga ogah ngapa-ngapain lo."

"Ayolah, lo tega best friend lo ini jadi berita utama besok gara-gara ditebas sama Topeng Putih?" 

"Gue cukup percaya sama best friend gue, kok." sahutnya sambil memegang bahuku sambil tersenyum (sumpah, aku sudah mau muntah karena ini).

Aku segera mengibaskan tangannya dari atas bahuku, lalu menjawab, "Lo nggak kenal gue lama, sih. Gue nggak bisa—"

"Loh, Andrew?" Alice, yang sepertinya mulai kepo dengan siapa yang datang ke kamar Bryan malam-malam, pun, akhirnya bangkit dari kasur.

Rambutnya sudah tidak lagi diikat, tergerai rapi membingkai wajah mungilnya yang tampak sangat menggemaskan. Ia mengucek matanya beberapa kali, lalu melambaikan tangannya padaku.

"Hai, Lice. Gue ikutan nginep di sini, ya? Sepi di kamar gue." sahutku mencari dukungan.

"Iya, nggak apa-apa."

"Gue bilang enggak, ya enggak."

Balasan Bryan dan Alice terdengar bersamaan, sekaligus bertentangan.

Sebelum Bryan sempat bereaksi, aku segera menerjang masuk dengan santai sambil berkata, "Karena Alice nggak keberatan, gue masuk, deh."

"Nggak. Gue males berbagi oksigen sama lo di kamar sesempit ini." sahut Bryan sambil menarik kerah bajuku dari belakang.

"Yah, kalo lo keberatan, boleh, kok, lo tidur di kamar gue. Di sana sendirian, kok, sejuk dan luasssss..." sahutku sambil melepaskan cengkeramannya dan buru-buru meletakkan selimut dan bantalku di antara kasur Alice dan bantal Bryan.

Mystery of the Orphanage: Fall of the Last FortressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang