Copyright © 2021 by Cindy Handoko
Aku mau minta maaf pada kalian semua.
Aku tahu, selama ini, kalian selalu melihatku sebagai dewa super kuat yang jenius dan nggak pernah salah. Tadinya, aku juga berpikir begitu, sih—sekarang pun, sebenarnya, sedikit sisi diriku masih ingin percaya hal itu. Tapi, setelah semalaman merenung di kamar, mencoba menolak mati-matian kenyataan bahwa Catherine, cewek paling cantik dan lemah-lembut yang pernah kutemui, kemungkinan berada di sisi psikopat sinting yang kami sebut Topeng Monyet itu, aku sadar bahwa itu mungkin nggak sepenuhnya benar.
Pertama, aku lemah banget. Saat pertama kali mendengar berita itu, sekujur tubuhku langsung gemetaran hebat dan panas-dingin. Alhasil, aku nggak bisa makan, lebih-lebih tidur. Kedua, kayaknya aku memang nggak sepintar itu, deh. Hingga saat ini, otakku mengalami korsleting parah akibat terlalu banyak bertanya "Kenapa?" tanpa benar-benar bisa dipakai berpikir.
Mungkin memang benar kata orang-orang: aku ini bodoh, suka bertindak tanpa pertimbangan, dan nggak pandai menilai orang—oke, yang terakhir itu, aku yang bilang sendiri, sih. Tapi, aku tetap nggak bisa percaya. Masa aku salah menilai Catherine, sih? Nggak masuk akal. Di mataku, ia masih anak ramah yang mendatangi saat aku dicampakkan dengan nggak hormat ke panti asuhan ini delapan tahun lalu, meyakinkanku bahwa aku bukan bocah jahat karena nggak sengaja membakar dapur dan nyaris membahayakan nenekku. Ia juga masih anak baik hati yang menghibur saat bibiku, yang memasukkanku ke panti lantaran takut membiarkan Nenek hidup berdua saja denganku, berhenti mengunjungi secara rutin untuk membawakan makanan dan hadiah.
Masa aku salah menilai dewi penyelamat itu?
Kalau begitu, mungkinkah aku juga salah menilai Joshua? Gimana kalau diam-diam, cowok jelmaan ibu-ibu tukang arisan itu adalah Panji sendiri? Memang, sih, Panji seharusnya berumur lebih dari tiga puluh tahun. Tapi, kalau Catherine saja bisa jadi pengikut Topeng Monyet, apa yang membuat Joshua nggak bisa jadi om-om berusia tiga puluh tahun?
Aku jadi meragukan semua hal dalam hidup. Tambahan lagi, kemalangan sepertinya terus menyambangiku tanpa ampun. Karena malu dengan kondisi yang acak-acakan berkat kurang tidur, ditambah nggak mood bertemu dengan siapa pun, aku memutuskan untuk mengurung diri di kamar. Untung sekolah diliburkan sampai minggu ini. Kalau nggak... ya, nggak ada bedanya, sih, sebenarnya—aku toh pasti bolos juga. Abaikan, deh.
Intinya, aku berniat menyontek cara Monster Andrew bertahan hidup dengan memberanikan diri mencuri makanan dari kantin sebagai suplai. Tetapi, dasar apes, sayur kampret yang kucuri kemarin sore itu malah membuat perutku mulas. Aku nggak tahu apakah sayur itu mengandung santet dari si Monster agar aku keluar kamar atau nggak. Yang jelas, kalau benar begitu, santetnya bekerja, sih.
Duh. Mulas banget, perutku. Tahu begitu, daripada sayur laknat itu, kumakan saja makanan yang ditinggalkan Joshua di depan pintu. Bodo amat kalau ternyata dia Panji yang mau meracuniku dengan nasi goreng dari neraka. Kayaknya, rasa mulas ini lebih parah daripada diracun, deh.
Sambil mengumpat dalam hati, aku berlari menuju kamar mandi di ujung lorong depan kamar. Hancur sudah niatku untuk nggak keluar kamar dan sembunyi dari semua orang selama berhari-hari. Ya sudah, lah. Sebaiknya aku cepat saja.
Dengan pemikiran itu, aku pun buru-buru menyelesaikan bisnis di kamar mandi. Saat akhirnya keluar lima belas menit kemudian, aku bergegas berlari kembali ke kamar.
Niatnya, sih, gitu. Tapi, aku sudah bilang, kan, kalau kemalangan sepertinya mengikutiku?
Bunyi 'BRAK!!' keras adalah yang pertama kali kutangkap sebelum menyadari bahwa tubuhku jatuh terjerembap ke lantai akibat tersandung kaki sendiri. Rasa sakit yang berdenyut-denyut di lutut spontan membuatku meringis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mystery of the Orphanage: Fall of the Last Fortress
Misterio / SuspensoHancur. Itulah kata yang paling tepat untuk mendeskripsikan Panti Asuhan Bakti Mulia setelah kepala sekolah mereka, Pak Stenley, menjadi terdakwa atas kasus yang menimpa anak-anak asuhnya. Seluruh sistem panti asuhan berantakan, korban penculikan me...