Copyright © 2021 by Viona Angelica
Langit sudah gelap. Jenni dan Papa sudah tertidur pulas, tapi aku masih terjaga. Rasanya tidak tenang kalau mengingat Jenni akan segera menyingkirkan teman-temanku yang masih ada di panti asuhan. Kenapa sulit sekali meyakinkan Jenni bahwa mereka bukanlah tandingan Papa dan tidak apa-apa untuk membiarkan mereka hidup seperti sekarang, sih? Lagipula, kenapa Jenni harus sekhawatir itu?
IMS sendiri, juga membuatku pusing. Sebenarnya semua ini tidak ada hubungannya dengan kehidupan mereka, kan? Kecuali Alice, yang tidak beruntung. Tapi tetap saja, itu semua sudah berlalu. Kenapa ia harus ikut-ikutan menyelidiki kasus ini, sih? Padahal, kalau mereka berhenti, setidaknya kami bisa melanjutkan hidup sendiri-sendiri dengan lebih nyaman. Jenni tidak perlu menyakiti mereka, dan rencana Papa akan terselesaikan. Setelah kasus ini ditutup, pun, IMS masih bisa hidup normal kalau mereka berhenti sekarang. Aku bisa sesekali kembali menghubungi Alice setelah berganti identitas dan melakukan operasi plastik. Mungkin awalnya Alice tidak akan mengenaliku, sih, tapi pasti aku bisa meyakinkannya. Dan aku yakin, kalau aku bercerita bahwa Topeng Putih mencelakaiku dan membuatku perlu operasi plastik untuk memperbaiki wajah dan cerita karangan lain ia bakal percaya saja.
Kalau mereka menurut, sebenarnya tidak akan ada yang celaka.
Tapi, kenapa mereka tidak kunjung berhenti, sih?
Tring...
Ponselku tiba-tiba berbunyi, menandakan adanya pesan masuk.
"Temui aku di tempat biasa jam dua belas."
Itu dari Stalker. Ia memang suka mengajakku bertemu semenjak aku keluar dari panti asuhan. Padahal, malam ini aku sudah ada janji dengan Penyusup untuk membahas mengenai Jenni yang akan mencelakai IMS. Tapi sepertinya Penyusup masih sibuk sekarang karena pesanku masih belum terbalas. Mungkin, lebih baik aku menemui Stalker dulu, yang barangkali punya berita baru untuk kami semua.
Aku segera menghapus pesan itu dari ponselku dan menyahut rambut palsu dari atas meja.
Aku mengenakan jaket hitam dan celana jeans panjang lalu segera berjalan keluar melalui pintu bawah tanah. Pintu bawah tanah kami berujung pada pedesaan yang jarang memiliki pengunjung dari luar. Orang-orang di sini juga tidak begitu mengikuti berita, jadi tidak tahu apa yang sedang terjadi di luar sana. Juga, relasi kami dengan orang-orang di sini cukup baik karena Papa sering membantu mereka sejak bertahun-tahun yang lalu, sehingga kami bebas keluar masuk desa dengan tenang. Aku segera menaiki motorku yang tersimpan di lahan yang sudah dibeli Papa dan pergi menuju tempat biasa bertemu dengan Stalker, Cafe Nagata.
Begitu melihatku masuk ke dalam, Stalker langsung melambaikan tangannya dengan ramah. Ia mengenakan topi dan jaket bisbol dengan kaos putih di baliknya. Wajahnya berseri-seri ketika melihatku datang dan duduk di hadapannya. Setelah memesan segelas milkshake vanilla, aku segera membuka suara, "Jadi... kenapa?"
"Aku masih nggak boleh tahu lokasi markas besar, ya?" tanyanya sambil tersenyum lebar.
"Nggak, dong. Itu rahasiaku sama Queen sama Papa aja. Kapan-kapan, mungkin, kalo kamu udah cukup meyakinkan." balasku sambil tersenyum.
"Padahal, kalo tahu, aku bisa jemput kamu ke sana daripada kamu yang nemuin aku kayak gini. Masa cewek nggak dijemput cowok waktu ketemuan, sih? Nggak gentle banget, kayaknya. Lagipula kurang meyakinkan apa sih, aku?" cibirnya.
"Tanya aja sama Queen." balasku sekenanya. "By the way, nggak ada berita baru? Alice gimana?"
"Alice... Baik-baik aja, sih. Ya biasa, sama temen-temennya main detektif-detektifan. Kayaknya hari ini mereka pergi ke luar nggak tahu ngapain." timpalnya sambil mengedikkan bahu. "Kamu sendiri gimana? Baik-baik aja, kan, sama Bos dan Queen?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mystery of the Orphanage: Fall of the Last Fortress
Mistero / ThrillerHancur. Itulah kata yang paling tepat untuk mendeskripsikan Panti Asuhan Bakti Mulia setelah kepala sekolah mereka, Pak Stenley, menjadi terdakwa atas kasus yang menimpa anak-anak asuhnya. Seluruh sistem panti asuhan berantakan, korban penculikan me...