Copyright © 2021 by Viona Angelica
"Panji, kita dapet alamatnya Panji." begitu keluar dari dalam bar dengan tampang berseri-seri, Joshua langsung menyerahkan secarik kertas pada kami semua. Di atas kertas, tulisan cakar ayam Joshua terpampang jelas.
Panji Hosea Lim
Apotek Sehat Jaya
Jalan Cut Nyak Dien 56b
Untunglah Sam sudah ketiduran sejak beberapa menit yang lalu, jadi tidak ada di antara kami yang memekik heboh dan menarik perhatian orang sekitar yang barangkali akan membuat kami ketahuan. Jujur, aku pun sudah kehabisan tenaga untuk menanggapi kabar baik itu, jadi aku hanya mengangguk-angguk di tempat sambil tersenyum.
"Good job, gue memang percaya kalian bisa dapet alamat ini, sih." sahut Bryan sambil menepuk pundak Joshua bangga.
"Great work!" sahut Rosaline ikut menepuk-nepuk bahu Joshua—entah sejak kapan ia jadi senang melakukan kontak fisik dengan Joshua seperti itu, tapi mereka terlihat aneh.
Alice bertepuk tangan senang sambil melompat kecil—bahkan dengan wajah capek sekalipun, cewek itu masih tampak sangat menggemaskan seperti biasanya.
"Oke, kalo gitu kita ke sana besok." umum Bryan sambil memfoto secarik kertas berisi alamat tersebut. "Keren, keren, nggak nyangka kita bisa langsung dapet alamatnya Panji."
Tring...
Sebuah pesan masuk tiba-tiba terdengar dari ponsel Bryan, membuat acara selebrasi kami terpotong sejenak. Ia meraih ponsel dari sakunya dan mengecek sebentar lalu kembali memasukkan benda itu ke dalam kantong tanpa mengatakan apa-apa.
"Kenapa Bry?" tanya Alice, kepo seperti biasa.
"Nggak apa-apa." sahut Bryan penuh rahasia. Beberapa detik setelahnya, ia sudah bertanya, "Kalian masih nggak percaya soal Pak Owen?" Dasar nggak jelas. Aku heran, kenapa dia masih bersikeras menutup-nutupi sesuatu kalau ujungnya dibuka sendiri seperti itu? Sekarang, semua orang jadi tahu kalau yang menghubunginya barusan pasti Pak Owen.
"Plis, jangan sekarang, gue capek debat." kata Gwen sambil menyilangkan tangannya di depan dada.
Menanggapi kalimat itu, aku pun mengangguk setuju. Kami akhirnya memutuskan untuk mencari pangkalan taksi terdekat dan mencari tumpangan untuk kembali ke panti asuhan. Untung saja saat kami sudah sampai di depan panti asuhan, pintu belum dikunci dan para satpam yang menggantikan polisi untuk berjaga sudah tidak ada di tempat. Tidak kaget, sih, jika mengingat beberapa peraturan lain yang sempat terbengkalai sejak jabatan kepala panti asuhan dipegang oleh Pak Joseph.
"Jangan lupa besok sepulang sekolah langsung kumpul." kata Bryan pada kami semua sebelum kami berpencar kembali ke kamar masing-masing.
Aku, tentu saja hanya kembali ke kamar untuk mengambil baju ganti. Nanti setelah mandi aku akan tetap ke kamar Bryan untuk mencegah cowok itu melakukan sesuatu pada Alice.
Tring...
Sebuah pesan masuk ke dalam ponselku ketika aku sudah berada dalam kamar mandi. Aku segera mengambil benda itu dari kantong celana yang tergantung di balik pintu, dan membacanya.
"Temui aku di tempat biasa. -Princess"
Pesan dari orang itu lagi.
Sebenarnya, sejak Willy tidak ada, aku sudah malas berinteraksi dengan orang ini. Tapi belakangan, ia terus-terusan meminta bertemu denganku. Ingin sekali aku menghapus pesan ini dan berpura-pura tidak menerimanya, tapi aku bisa kehilangan kepalaku kalau aku berlaku demikian. Juga, aku sudah cukup banyak memberikan alasan untuk tidak bertemu dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mystery of the Orphanage: Fall of the Last Fortress
Mistério / SuspenseHancur. Itulah kata yang paling tepat untuk mendeskripsikan Panti Asuhan Bakti Mulia setelah kepala sekolah mereka, Pak Stenley, menjadi terdakwa atas kasus yang menimpa anak-anak asuhnya. Seluruh sistem panti asuhan berantakan, korban penculikan me...