Copyright © 2021 by Cindy Handoko
Dalam daftar rencana yang berjalan tidak sesuai ekspektasiku, yang barusan pasti menduduki peringkat teratas. Aku sudah siap menghadapi seorang guru, bahkan yang paling tidak terduga seperti Bu Yohana sekali pun. Aku juga sudah siap menghadapi seorang petugas Tata Usaha atau Pak Bon, atau bahkan Pak Yudis, satpam sekolah kami yang selalu baik padaku. Namun, kenyataannya, kami malah terjebak dalam sesi curhat seorang pria yang benar-benar asing. Yang lebih sialnya lagi, aku tidak bisa menemukan cela dalam ceritanya—semuanya cocok dengan latar belakang Panji Hosea Lim yang selama ini kami selidiki.
Saat kami melangkah keluar dari apotek, sebuah mobil yang berhenti di seberang jalan langsung menarik perhatianku. Mobil hitam itu bukan mobil polisi, tetapi dari kacanya yang setengah diturunkan, wajah familier Pak Owen tampak. Sial, aku hampir lupa kalau aku benar-benar memanggil beliau tadi.
Inilah kenapa aku tidak mau jadi double agent. Belum apa-apa saja, perhitunganku sudah kacau begini. Sekarang, aku harus mengalihkan perhatian yang lain sebelum mereka menangkap pemandangan yang sama, lalu menghubungi Pak Owen setelah ini dan menjelaskan semuanya.
"Sam ke mana? Kok, nggak kelihatan," ujarku buru-buru, sambil mengalihkan pandangan ke restoran yang letaknya tepat di samping apotek, berharap yang lain juga melakukan hal yang sama.
Alice mengerutkan alis dengan bingung. "Ada, kok. Tuh—"
"Tunggu bentar." Andrew, yang sialnya tidak terpancing, menyela perkataan Alice. "Itu... Pak Owen, kan?"
Oh, tidak. "H-hah, nggak mungkin, lah—"
"Loh, iya, tuh, kayaknya." Aku berusaha melirik Joshua untuk memberi sinyal, tetapi cowok itu malah sibuk mengamati mobil Pak Owen di kejauhan.
Sebelum sempat aku memikirkan rencana lain, tubuh Andrew menegang di tempatnya berdiri. Warna merah naik ke wajahnya dengan cepat, sedangkan rahangnya berubah keras. "Iya, anjing!" serunya. "Bajingan itu ternyata mata-matain kita. Biar gue buat perhitungan sama dia!"
Aku buru-buru mencekal lengannya. "Ndrew, tunggu bentar—"
Terlambat. Cowok berambut merah itu sudah merangsek maju, melepaskan lengannya dari cengkeramanku, dan menyeberang jalan dengan penuh emosi. Aku buru-buru berlari mengejar di belakangnya.
"Woy, awas!" Sebuah tarikan di pergelangan tangan membuatku terpelanting mundur, tepat bersamaan dengan sebuah motor yang melaju kencang di tempatku tadinya berdiri. Joshua menatapku dengan wajah membiru panik. "Lihat-lihat kalo nyebrang, Bry!"
Aku tidak mengatakan apa-apa, hanya melepaskan pergelangan tanganku dari cengkeraman Joshua dan kembali menerjang jalanan, kali ini sambil melihat ke kanan-kiri.
"Turun lo! Jangan cemen. Kalo lo berani mata-matain kita, harusnya lo berani turun!" Andrew menggedor kap mobil Pak Owen dengan brutal, menarik perhatian beberapa motor yang lewat. "Ayo, sini!"
Dengan suara sekeras ini, percakapan kami bisa didengar oleh siapa pun, termasuk antek Topeng Putih, kalau mereka ada di sini. Panik, aku segera menahan Andrew kuat-kuat dari belakang. "Ndrew, tenang! Pak Owen nggak salah, woy!"
Andrew berusaha melepaskan diri dari cengkeramanku. "Lo buta atau goblok, sih? Gue tahu lo bucin banget sama Pak Owen, tapi lo lihat, dong, kalo udah terpampang nyata gini, menurut lo dia ada di pihak mana!"
"A-ada apa ini?" Wajah Pak Owen di balik kemudi berubah pucat. "Memata-matai gimana? Di pihak siapa maksudnya?"
"Lo nggak usah pura-pura bodoh, deh, Pak! Lo di sini ngapain, kalo nggak mata-matain kami? Gimana lo bisa tahu kami ada di sini, ha?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mystery of the Orphanage: Fall of the Last Fortress
Misteri / ThrillerHancur. Itulah kata yang paling tepat untuk mendeskripsikan Panti Asuhan Bakti Mulia setelah kepala sekolah mereka, Pak Stenley, menjadi terdakwa atas kasus yang menimpa anak-anak asuhnya. Seluruh sistem panti asuhan berantakan, korban penculikan me...