Copyright © 2021 by Cindy Handoko
Tania, VIII-A
Pukul sebelas malam tepat, aku meloncat turun dari kasur. Rosaline juga melakukan hal yang sama, sedangkan Jessica sejak tadi memang sudah celingak-celinguk di dekat pintu sambil beberapa kali memeriksa keadaan lorong di luar. Saat ini, kondisi penginapan sudah sepi dan lampu di luar sudah dimatikan. Tapi, sejak beberapa menit yang lalu, aku bisa mendengar bunyi kemeresak dari kamar-kamar di sebelah milik kami, pertanda semua orang juga sudah tidak sabar menyelinap keluar.
"Ayo," ajak Jessica sambil berbisik. "Cath, lo nggak mau ikut beneran?"
Catherine menggeleng dari atas kasurnya. Sebelumnya, ia sedang membaca buku yang entah apa—sepertinya, sih, buku motivasi pinjaman dari perpustakaan (benar-benar ngeri bacaan anak itu). "Lagian ngantuk juga," katanya. "Kalian jangan sampe ketahuan guru, ya."
"Tenang. Nggak akan," kataku santai. Tapi, saat melihat wajah Rosaline yang sama sekali nggak ada tenang-tenangnya padahal ia juga mau ikut menyelinap ke kamar Toni, aku jadi agak takut juga.
"Eh, udah pada naik, loh." Jessica memberi aba-aba bagi kami untuk keluar dari kamar. Aku dan Rosaline mengikuti di belakangnya setelah berpamitan pada Catherine, berusaha tidak menimbulkan suara. Kami berjalan berjingkat-jingkat di lorong yang gelap, hingga akhirnya berhasil naik ke lantai dua alias lantai cowok-cowok dengan selamat.
"Kamarnya yang mana, ya?" Rosaline bertanya lirih. "Kalian kelihatan nomornya?"
Waduh, pertanyaan bagus. Karena lampu dimatikan, kami jadi nggak bisa membaca nomor kamar di pintu. "Bentar, bentar, biar gue cek," Jessica mendekat ke salah satu pintu hingga matanya nyaris menempel di papan nomor. "Duh, nggak kelihatan sama sekali."
"Ketuk aja?" saranku. "Pasti mereka pada tahu kamar Toni di mana, nggak, sih?"
"Lo gila, ya!" Jessica berbisik panik. "Kalo ternyata kamar Jeffrey atau Sam, gimana? Bisa sekompleks yang denger teriakannya; antara teriakan gue atau teriakan si Sam!"
"Duh, bener juga," gumamku bingung.
"Eh, T-Tan..." Tiba-tiba, Jessica menunjuk ke belakangku dengan tampang takut. "Jangan teriak, ya, di belakang lo..."
Sial! Ada apa? Aku kaget sekali sampai nggak sengaja langsung melompat sambil membalik badan, membuatku hilang keseimbangan dan jatuh terduduk.
GEDEBUK!
Sial, sial, sial. Jantungku berdebar keras sekali dan sekarang pantatku sakit.
"Ya ampun!" Jessica dan Rosaline langsung menghampiriku panik. Aku mendongak dan melihat bayangan gelap menjulang di hadapanku, membuatku langsung membekap mulutku supaya tidak berteriak. Dalam hati, aku mengucapkan doa apa pun yang kuingat. Tolong, jangan setan... tolong, jangan setan...
Sosok itu berjongkok mendekatiku dan... "Heh, kalian berisik banget, sih!"
Setan! Itu Sam! Dan lagi, ia membalut tubuhnya dengan sarung dari kepala sampai kaki! Sialan, bocah itu memang selalu bikin gara-gara!
"Siapa itu di atas?"
Sebuah suara berat yang asalnya dari lantai bawah menyentak kami semua. Oh, tidak. Itu suara guru. Ini pasti gara-gara suara Sam yang kerasnya mengalahkan bunyi jatuhku barusan. Detik selanjutnya, ada bunyi langkah kaki menuju kemari.
"Kabur, kabur, kabur!" Jessica berbisik panik sambil menarikku dan Sam berdiri. "Sam, kamar Toni sebelah mana? Buruan!"
"Oalah, kalian mau ikut ngumpul di kamarnya Toni?" Sam malah bertanya kepo. Duh, memang dasar bocah menyebalkan! "Bilang, dong. Gue juga, nih, tapi lagi nyari Joshua."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mystery of the Orphanage: Fall of the Last Fortress
Mystery / ThrillerHancur. Itulah kata yang paling tepat untuk mendeskripsikan Panti Asuhan Bakti Mulia setelah kepala sekolah mereka, Pak Stenley, menjadi terdakwa atas kasus yang menimpa anak-anak asuhnya. Seluruh sistem panti asuhan berantakan, korban penculikan me...