85. Owen

38 12 0
                                    

Copyright © 2021 by Viona Angelica

Kira-kira sudah dua jam sejak kami kehilangan kontak dengan tim Alice. Setelah Joshua dan Gwen masuk pun, kami juga belum mendapat kabar apapun dari lantai bawah. Aku dan kelima anggota timku hanya bisa menunggu di bukit yang seharusnya tidak akan terlacak sambil menatap bangunan yang tampak kosong itu dengan teropong. Informasi mengatakan ada beberapa penembak jitu yang dipasang di sekitar sini, sehingga kami sudah siap dengan kostum penyamaran dan wajah yang diberi cat. Tidak lupa kami juga memasang rompi anti peluru dan helm perlindungan.

"Bagaimana Inspektur? Apa tidak sebaiknya kita masuk sekarang? Mungkin saja anak-anak itu sudah tinggal nama kalau kita tidak kunjung bergerak." kata Gilang, salah satu anggota tim yang kupimpin, mulai merasa gelisah.

"Kita sudah sepakat untuk menunggu sinyal dari mereka. Lagipula, Panji juga belum tampak memasuki wilayah rumah itu kembali. Kita perlu menunggu sampai ikan besarnya masuk ke dalam perangkap." jelasku.

"Tapi anak-anak itu..."

"Mereka bukan sekadar anak biasa. Saya yakin rencana yang mereka susun pasti bisa berhasil. Lagipula, lokasi tempat ini juga mereka yang menemukan, kan? Kalau ada keadaan genting, mereka pasti akan berusaha membunyikan sirene itu." jelasku.

"Tapi bisa jadi sirenenya dirusak atau disita oleh pihak lawan." bantahnya.

"Memang kemungkinan itu ada. Makanya, hanya butuh kepercayaan pada mereka, dan kita doakan yang terbaik."

Hening setelahnya, Gilang hanya menghela napas sebelum akhirnya mengalah, "Baik."

Sebenarnya aku bohong. Aku tidak tahu apa yang menanti mereka di bawah sana, dan fakta bahwa mereka berhasil masuk ke dalam markas tanpa dilubangi oleh peluru dari penembak jitu cukup mencurigakan. Mungkin saja hal ini ada hubungannya dengan pengacak sinyal yang diusulkan oleh Bryan dipasang di markas polisi sehingga Panji sulit untuk menghubungi mereka, tapi tetap saja mencurigakan. Bisa jadi sudah banyak penjaga yang menunggu di bawah dan penembak jitu memang diminta untuk membiarkan anak-anak itu masuk ke dalam perangkap.

"Elang satu, masuk." Suara terdengar dari earphone yang tersambung pada HTku.

Itu dari tim Doni, setelah anak-anak masuk ke dalam markas, aku menyuruh mereka kembali ke mobil untuk melacak tempat-tempat yang kemungkinan besar dipasangi penembak jitu. Kuduga, para penembak jitu masih mengintai dari sekitar sini dan menunggu perintah dari Panji untuk mengeksekusi orang dengan gerak-gerik mencurigakan di sekitar markas. Kalau kami berhasil melumpuhkan mereka, kami bisa bergerak lebih leluasa.

"8-2." sahutku, tanda suara diterima dengan jelas.

"Saya sudah mengirimkan koordinat tempat yang kemungkinan dihuni penembak jitu, Inspektur." sahutnya.

Aku mengecek layar tab pribadiku untuk menampilkan koordinat yang sudah dikirimkan oleh Doni.

"Terima kasih." sahutku mengakhiri perbincangan kami.

"Langkah selanjutnya?" tanyanya.

"Tunggu aba-aba. Kita tidak bisa mengambil resiko untuk tim kalian bergerak lebih lanjut dengan adanya penembak jitu yang mengintai."

"8-1-3." katanya (yang artinya 'selamat bertugas') mengakhiri pembicaraan kami.

Baru saja aku mengangkat tabku kembali untuk menganalisa koordinat, Wisnu, yang kuberikan tugas untuk mengamati sosok yang keluar masuk dari dalam rumah, berkata, "Ada pergerakan."

Aku menyahut teropong dari tangannya dan menilik ke arah rumah yang sedang kami awasi. Tampak tiga orang berbadan bongsor keluar dari dalam rumah tersebut. Mereka tidak mengenakan jubah, ataupun topeng. Hanya seperti sekumpulan bapak-bapak berjaket tebal yang tampak sedang berjalan sore mengitari rumah sambil bercengkrama. Namun aku tahu, di balik jaket yang mereka kenakan pasti tersimpan senjata api untuk segera mengamankan kalau-kalau ada gerakan mencurigakan.

Mystery of the Orphanage: Fall of the Last FortressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang