22. Bryan

60 13 0
                                    

Copyright © 2021 by Cindy Handoko

Ada dua hal yang cukup melegakan pikiranku sore ini: Pertama, mood Alice sudah membaik. Kendati diam saja sepanjang diskusi hingga saat semua orang sudah kembali ke kamar masing-masing, aku tahu ia menyimak dan turut memproses semua informasi yang kami bahas. Mungkin, karena akhirnya kami memutuskan untuk memulai dari titik start yang lain, yang tidak melibatkan Catherine, semangatnya jadi lebih terangkat.

Kedua, diskusi itu sendiri. Berkat informasi berguna dari Rey, yang datang di saat yang sama sekali tidak terduga, kami jadi membuat progress dalam penyelidikan. Jalinan kerjasama baru yang kami bentuk dengan Inspektur Owen juga membuatku semakin optimis dalam mengambil langkah.

Namun, tidak bisa dipungkiri, waktu kami memang tidak banyak. Karena ini sudah hari Senin, terhitung hanya tujuh hari sisa waktu yang kami punyai untuk mengungkap kebenaran di balik semua ini. Lewat dari itu, kami harus rela menelan mentah-mentah keputusan pengadilan terhadap Pak Stenley, yang hingga kini masih belum jelas status keterlibatannya, dan barangkali membiarkan entah berapa banyak Topeng Putih yang masih berkeliaran di luar sana menghirup udara kebebasan, jauh dari bayang-bayang polisi.

"Hola." Andrew masuk ke kamar, lengkap dengan senyum tipis dan laptop raksasa di tangan kanannya. Setelah diskusi dibubarkan, cowok itu memang langsung pamit ke kamar Benny untuk meminjam laptop, dan karena Alice masih tinggal di sini, kurasa ini juga akan resmi menjadi kamar baru sekaligus ruang kerjanya sekarang.

"Jadi, lo sempet nge-confirm soal senjata Benny, nggak?" tanyaku, begitu ia sudah mengambil posisi duduk di hadapanku, di samping kasur tempat Alice masih berbaring.

"Sempet," jawabnya. "Gue coba angkat dikit senapannya, dan emang bener, enteng banget. Bangsat. Ternyata kita mikir ribet-ribet cuma gara-gara gengsinya tuh anak. Coba dari awal dia bilang kalo bonyoknya kolektor replika, bukannya senjata beneran."

"Ya sebenernya kita juga bego, sih, dipikir-pikir," balasku. "Bisa-bisanya ngira itu asli, padahal jelas-jelas senjata, tuh, ilegal."

"Ya anjir, orang dia serius banget bilang peninggalan almarhum orang tuanya. Gimana nggak percaya? Lagian, dengan kepsek kayak si Stenley, ya gue mikir, mungkin aja, kali," Andrew menyalakan laptop sambil bersungut-sungut.

Aku diam saja. Untuk sesaat, suasana berubah hening, mengabaikan bunyi ketikan di keyboard laptop Benny yang terdengar sesekali. Lalu, Alice tiba-tiba bangkit duduk, membuatku langsung bergegas membantunya.

"T-tolong minum, dong," pintanya dengan suara serak saat sudah berhasil bersandar di tembok. Aku segera beranjak berdiri, mengisi botol minum Alice dengan air dari pitcher plastikku hingga penuh, dan menyodorkannya kembali pada cewek itu secepat kilat. "Thanks," katanya setelah meneguk air dari botol hingga tinggal setengah. Ia melempar senyum tipis saat mengembalikan botol itu padaku, membuat jantungku langsung berdebar tanpa aba-aba.

"Anytime," balasku sambil mengelus puncak kepalanya dengan lembut.

"EH, GUE NEMU, NIH, SOAL FRANSISCO WALKER!" Aku hampir melompat kaget dan menumpahkan sisa air di botol saat Andrew tiba-tiba memekik heboh. Alice, yang tadinya masih duduk bersandar dengan santai, ikut terkesiap dan menegakkan duduknya.

Dasar, batinku. Cowok ini benar-benar posesif tingkat dewa, bahkan terhadap cewek yang bukan pacarnya. Kalau saja aku punya lima persen saja dari sifat posesif yang berlebihan itu, dia pasti sudah tidak kubiarkan menginap di sini barang hanya semalam.

"Nemu apa emangnya?" tanyaku malas. "Biodata?"

"Iya, dong," balasnya sambil melontarkan seringai licik padaku, yang kini sudah duduk kembali di hadapannya. Ia menghadapkan laptop ke arahku dan Alice supaya kami bisa membaca tulisan yang tertera di layar. "Menurut artikel ini, nama asli Fransisco Walker adalah Fransisco Abimana. Dia orang asli Jawa Tengah yang merantau ke Jakarta buat memulai bisnis dan ngebangun Walker Corporation itu dari nol. Bisa dibilang, dia businessman yang brilian, sih."

Mystery of the Orphanage: Fall of the Last FortressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang