Copyright © 2021 by Cindy Handoko
Selama mengejar Topeng Putih, pikiranku bercabang ke mana-mana.
Beberapa saat yang lalu, aku masih berlari bersama Andrew, mengejar si penembak peluru yang, bukannya memakai jubah untuk melengkapi kostum norak ala geng Topeng Putihnya, malah mengenakan topi dan jaket hitam tebal yang mengingatkanku akan coat musim dingin salah tempat. Kami berdua mengejarnya hingga ke lantai satu, dan saat itu pula, aku menyadari sesuatu. Kecepatan yang tidak masuk akal dan gerakan gesit bak balerina itu...
Orang salah kostum yang sedang kami kejar adalah Catherine.
"Sini lo, bajingan! Berani ya lo berusaha ngebunuh gue, lawan gue kalo berani!" Andrew berteriak sambil menambah kecepatan, berbelok mengejar Catherine mendahuluiku. Saat aku ikut berbelok, memasuki pintu yang terletak tepat di ujung tikungan, aku menyadari bahwa ruangan di balik pintu itu dulunya pasti adalah ruang makan, dan—kalau ukuran keseluruhan rumahnya saja belum cukup untuk menunjukkan hal itu—pemilik lama rumah ini pasti orang tajir melintir yang suka gaya hidup bak bangsawan, dengan pelayan berseragam ala butler Inggris yang bakal bertanya setiap malam, "Hari ini mau makan salmon kaviar atau wagyu steak dari Antartika?" Pokoknya, tipikal konglomerat yang nggak kau sangka bakal benar-benar ada di dunia nyata, tetapi kenyataannya ada juga. Sayang, rumah yang menjadi saksi masa kejayaannya itu sekarang sudah tinggal bekas lalapan api. Di malam hari, pasti tempat ini bakal jadi lokasi uji nyali yang sempurna.
Aku mengikuti Andrew, masih mengejar Catherine—melewati meja panjang bertutup taplak raksasa yang sudah menjadi arang di beberapa bagian, melompati tumpukan pecahan kaca yang tadinya pasti adalah chandelier cantik yang tergantung di langit-langit ruangan. Saat kami sudah hampir melintasi ruangan panjang itu dan masuk ke ruangan berikutnya, bunyi 'PRANG' super keras terdengar. Aku melompat, tepat waktu untuk menghindari lemparan piring yang berasal dari depan. Entah dari mana dan kapan Catherine sempat menyahut piring itu, yang jelas, ia sengaja mengarahkannya tepat ke arahku, melewati bahu Andrew. Dengan kekuatan dan kegesitan yang nggak manusiawi, bukan hal yang mengejutkan baginya untuk juga memiliki bidikan yang luar biasa akurat.
Suara langkah kaki terdengar dari belakang saat aku mulai berlari lagi, setelah sempat berhenti selama sepersekian detik akibat serangan piring tiba-tiba itu. Aku menoleh dan mendapati Gwen sudah berlari dua meter di belakangku, membawa pecahan piring tajam di tangan kanannya. Bisa mengejar hingga kemari, melewati Rosaline dan Sam yang sudah tertinggal jauh di belakang, cewek itu pasti pernah training superhero atau, minimal, memertimbangkan untuk jadi stunt woman. Walau begitu, di balik tatapan lurus matanya yang tajam dan penuh tekad itu, aku menyadari bahwa raut wajahnya pucat pasi, membuat rasa khawatir menghampiriku seketika.
"Lihat ke depan," Gwen memeringatkan dengan nada tegas, membuat pikiranku langsung kembali teralih pada hal terpenting saat ini: menangkap Catherine.
Aku kembali menoleh ke depan dan menyadari bahwa ruangan berikutnya yang kami masuki adalah bekas ruang keluarga yang bentuknya lebih mengenaskan lagi—sofa yang tinggal puing-puing, televisi kuno yang pasti meledak saat kebakaran karena spare part-nya berceceran di mana-mana. Andrew berlari tidak sampai tiga meter di hadapanku, dan Catherine pun tidak jauh di depan. Entah cewek itu akhirnya lelah atau apa, kecepatannya menurun, membuat jarak di antara kami menipis.
Anehnya, kecepatan Andrew juga ikut menurun, sehingga aku dengan mudah mampu menyejajari langkahnya. Catherine tiba-tiba berbalik, menembakkan peluru ke arah Andrew. Refleksku dan Andrew berjalan bersamaan: Andrew merunduk, dan aku menyepak cowok itu ke samping dengan kaki. Peluru melintas beberapa sentimeter di atas kakiku, dan dengan ngeri, aku menyadari bahwa tembakan Catherine sengaja diarahkan sedikit ke bawah, sehingga kalau Andrew hanya merunduk saja dan aku tidak menjatuhkan tubuhnya ke samping, benda itu pasti sudah menembus dadanya. Seandainya ia tidak merunduk pun, tembakan itu pasti sudah mengenai perutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mystery of the Orphanage: Fall of the Last Fortress
Mistério / SuspenseHancur. Itulah kata yang paling tepat untuk mendeskripsikan Panti Asuhan Bakti Mulia setelah kepala sekolah mereka, Pak Stenley, menjadi terdakwa atas kasus yang menimpa anak-anak asuhnya. Seluruh sistem panti asuhan berantakan, korban penculikan me...