62. Sam

43 11 3
                                    

Copyright © 2021 by Cindy Handoko

Sepertinya, di titik ini, aku sudah nggak bisa kaget lagi, deh.

Bahkan kalau kau bilang mendiang ayah-ibuku ternyata Marta dan Ani Hosea Lim, dan aku ternyata kakak-adik dengan Panji, aku juga bakalan lempeng-lempeng saja. Malah kalau bertemu dengan Panji, aku bakal minta biaya santunan. Habis, aku sudah capek dibuat kaget dan dikecewakan. Pertama, oleh Catherine, yang sampai sekarang pun masih membuatku sedih kalau dipikirkan lama-lama. Lalu, oleh sesosok monster yang nggak mau kusebut namanya saking marahnya aku dengan dia. Lalu, sekarang, mereka mau bilang bahwa selama ini Sarimin menguping semua pembicaraan kami?

Sebenarnya aku nggak ingat, sih, selama ini sudah ngomong apa saja, tapi pasti ada yang rahasia, kan? Nggak usah begitu, membayangkan Sarimin and the gang mendengarkan omonganku yang kelepasan mengkhawatirkan atau memuja-muja Catherine saja, aku malu sendiri. Padahal, aku sudah berencana mau menunjukkan bahwa aku cowok mandiri yang tegar kalau sampai bertemu dengannya lagi entah bagaimana caranya.

"Pantes gue merasa aneh, kok kalung gue yang sehat-sehat aja tiba-tiba hampir patah begitu," Alice berkata. "Setelah gue inget-inget, kalung Catherine emang kayaknya ada rusak gitu, sih, dulu, walaupun belum separah sampe mau patah atau apa. Mungkin sebelum dia berangkat ke Bandung, kalungnya dituker, soalnya kalung Catherine yang ditemu sama Gwen waktu itu sehat-sehat aja kayak baru, tapi pas itu gue terlalu syok buat kepikiran soal keanehan itu, sih."

"Berarti, sekarang, mereka ngira lo lagi di kamar sendirian dan nggak mau ikut kita-kita ngumpul?" Joshua bertanya.

"Iya," kata Alice. "Siapa tahu kita bisa manfaatin urusan penyadap ini buat keuntungan kita, jadi gue nggak mau buang penyadapnya dulu."

"Lagian, kalo dibuang, lama-lama mereka bakal sadar. Gue yakin mereka nggak bakal tinggal diem soal itu. Takutnya, mereka malah jadi makin kreatif. Nyuruh Stalker ngelakuin sesuatu, kek," tambah Bryan.

Duh, itu juga. Stalker itu. Aku masih nggak habis pikir kenapa orang itu juga ikut-ikutan tim mereka? Padahal, aku benar-benar yakin sebelum ini, bahwa dia itu ada di pihak baik, atau setidaknya pihak goblok-dan-nggak-tahu-apa-apa. Ternyata, nggak cuma terlibat, dia malah dijuluki Stalker oleh Sarimin segala. Bukannya itu yang terparah dari yang paling parah? Maksudku, seenggaknya, Catherine saja masih dijuluki Princess. Harus seburuk apa kau sampai bisa dapat julukan Stalker dari geng psikopat monyet?

"Omong-omong," Monster Gwen tiba-tiba berkomentar. Sebaiknya, aku menyiapkan hati untuk mendengarkan cerocosnya, karena biasanya aku kena mental mendengar omongannya yang sulit dicerna. "Kalian udah denger berita tentang Andrew pagi ini?"

Oh, shit. Waktu aku bilang menyiapkan hati, itu jelas bukan untuk mendengar nama yang membuat mood-ku langsung hancur itu. Kenapa Monster Gwen bisa santai sekali membawa-bawa nama itu, sih? Kayaknya, nggak cuma aku yang merasakan hal yang sama. Muka semua orang berubah suram, seperti habis mendengar berita duka. Monster Gwen langsung menyadari perubahan suasana di dalam ruangan, tapi tentu saja, cara kerja hati nurani monster memang berbeda.

"Sori, gue merasa... ini perlu dibahas, apalagi kalo kita mau bener-bener ngelakuin sesuatu besok," katanya tanpa rasa bersalah. "Gue yakin Bryan juga udah lihat beritanya?"

"Berita apa?" Alice mewakiliku bertanya.

"Berita..." Bryan memejamkan mata dan menghela napas panjang kayak orang depresi. "Iya, gue udah lihat juga. Jadi, pagi ini, ada berita yang... nggak mengenakkan. Kayaknya, media mulai tahu soal Andrew, walaupun nggak tahu identitas pastinya. Katanya, polisi nemu bukti baru tentang anggota lain tim Topeng Putih, tapi gue sendiri yakin itu bukti yang dikirim Bos mereka ke polisi, sih."

Mystery of the Orphanage: Fall of the Last FortressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang