44. Alice

40 13 1
                                    

Copyright © 2021 by Viona Angelica

Aku tidak menyangka keadaan menjadi seperti ini setelah bertemu Panji.

Dalam bayanganku, Panji mungkin adalah sosok yang selama ini pernah kulihat di sekolah—meskipun sebenarnya aku tidak ingat semua staff yang ada di sekolah, sih. Tapi minimal, bukan orang yang benar-benar asing seperti Bapak yang duduk di hadapan kami dengan santai sekarang. Lagipula, semua ini tidak cocok dengan skenario yang sudah kupikirkan dalam otakku. Kukira, setelah kami masuk dan ia menyadari siapa kami sebenarnya, ia bakal langsung lari, atau menyelamatkan diri, atau melakukan hal lain yang ekstrem, bukannya menyambut kami berempat dengan ramah sambil menyuguhkan empat gelas teh hangat. Ia bahkan repot-repot mengambilkan kursi dengan bantalan empuk dari dalam rumahnya setelah melihat perban yang masih kupasang di tubuhku.

Tapi hal itu malah membuatku semakin grogi.

Tindakannya terlalu mencurigakan, sehingga aku mau tidak mau segera memasang alat perekam dalam ponselku—berjaga-jaga kalau terjadi sesuatu. Seandainya detik ini kami tiba-tiba diculik pun, masih ada harapan untuk mengungkap kejahatannya dengan rekaman dalam ponselku yang kuharap akan ditemukan oleh orang luar. Aku sering lihat di film-film, biasanya penjahat akan berlaku sok baik dan mengalihkan perhatian korbannya sebelum diserang dari belakang sampai pingsan.

"Jadi, ada keperluan apa mencari saya?" Panji tersenyum ke arah kami.
Aku masih sedikit melirik ke belakang tubuh kami, takut kalau tiba-tiba ada penjaga seram yang menyerang dari belakang.

"Jadi... Mungkin Bapak sudah mendengar di berita tentang anak hilang yang belakangan ini lagi muncul di berita. Namanya Catherine, dari Panti Asuhan Bakti Mulia." sahut Bryan sambil melipat tangannya. "Kebetulan, kami adalah teman-teman Catherine di panti asuhan, Pak. Sebelum dia dikarantina lomba dan tiba-tiba menghilang, dia berulang kali sempat bercerita tentang masa lalunya. Dia juga sempat bercerita soal ibunya adalah Natalia Lynn, dan kemungkinan besar beliau... ada di rumah Bapak."

"Kedatangan kami kemari murni untuk mencari Catherine karena khawatir. Kami cuma mau memastikan dia benar-benar di tempat yang aman bersama keluarganya, tidak berkeliaran di luar tanpa tujuan." sambung Joshua.

"Seandainya... Catherine memang ada di sini, kami juga tidak akan melapor. Jadi, apakah benar Catherine ke sini?" sahut Andrew terdengar dipaksakan. Semenjak bertemu dengan Panji, rahangnya terus dikatupkan seperti sedang menahan amarah. Mungkin, memang baiknya ia tidak ikut masuk karena dendamnya pada Panji yang sudah membunuh Willy belum berangsur padam.

Panji hanya menatap kami dengan tatapan bingung sambil menyahut, "Anak Natalia masih hidup?"

Kami hanya bisa bertukar pandang dengan bingung.

"Ah, maaf." sahut Panji sambil tersenyum kecut. "Semenjak saya bertemu lagi dengan Lia, ia jarang mengungkit kehidupannya dengan Walker. Saat ia kabur dari rumah Walker dan menemui saya, sampai waktu ia meninggal pun, ia tidak pernah mengungkit anaknya dengan Walker. Sepertinya... ia sangat menderita di dalam keluarga Walker, jadi saya pikir tidak ingin mengungkit kesakitannya lebih lagi."

"Em... kalau boleh tahu, mamanya Catherine meninggal kenapa?" aku bertanya ragu.

Mendengar kalimatku, Panji kembali tersenyum kecut sambil menatap ke lantai dengan depresi. "Terkena HIV. Pasti ia tertular Walker yang belakangan... ah, mohon abaikan yang barusan. Pokoknya, sejak Lia kembali setelah bercerai, ia berubah menjadi pemurung dan pendiam. Ia bahkan tidak mengungkit sedikit pun tentang penyakitnya pada saya, atau teman-teman lainnya. Sangat disayangkan memang. Pernikahan yang salah memang bisa menjadi awal kehancuran seseorang."

Kami hanya diam seribu bahasa mendengar cerita tersebut. Aku tidak pernah menyangka Natalia Lynn sangat menderita sejak menikah. Maksudku, kupikir ia hanya harus menghadapi suaminya punya banyak selingkuhan, tapi... HIV?

Mystery of the Orphanage: Fall of the Last FortressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang