75. Bryan

45 12 2
                                    

Copyright © 2021 by Cindy Handoko

"...Lex. Alex!"

Aku membuka mata dengan gelagapan dan menyadari bahwa aku sedang berada di sebuah taman dengan pohon beringin besar di tengah-tengahnya. Aku mengenali taman itu sebagai taman yang sering kukunjungi untuk bermain sepeda dengan ayahku waktu kecil. Begitulah, saat ini pun, ayahku juga sedang berada di sini bersamaku.

Aneh. Padahal, aku bertemu ayahku setiap hari. Mengapa rasanya sudah lama aku tidak melihat wajah beliau?

"Lama nggak ketemu, Pi," ujarku.

Ayahku tersenyum lebar. Wajahnya masih sama seperti yang kuingat, tetapi rambutnya beruban dan kerutan di ujung matanya tampak lebih jelas. "Kamu jarang ngunjungin Papi, sih," balasnya sambil melemparkan tatapan nanar. "Tapi nggak apa-apa. Setelah semua urusan dengan psikopat ini selesai, kamu bakal ngunjungin Papi lagi, kan?"

Psikopat? Psikopat apa?

Dalam hidup, aku tidak pernah bermimpi untuk berurusan dengan psikopat mana pun. Aku hanya ingin meneruskan jejak ayahku menjadi pengacara sukses. Itu mimpiku sejak kecil, kan?

Iya, kan?

Tetapi, mengapa semuanya terasa salah?

"Tapi, Alex nggak yakin bisa keluar dari sini hidup-hidup, Pi," aku menjawab di luar kendali. Rasanya seperti ada dua jiwa di dalam tubuhku, dan saat ini aku sedang menonton jiwaku yang satunya berkomunikasi dengan ayahku.

Jawaban itu sepertinya membuat ayahku tidak senang. Aku jarang sekali melihat ekspresi beliau berkerut seperti itu. "Kenapa kamu nggak yakin?"

Iya. Kenapa aku tidak yakin? Bukankah aku orang paling penuh strategi dan percaya diri yang selalu yakin dengan diriku sendiri di setiap langkah dan rencanaku? Aku jadi penasaran dengan jawabanku sendiri.

"Soalnya Alex bukan Catherine yang licik dan nggak segan-segan ngelakuin hal yang nggak bermoral demi mencapai tujuan," jawabku. "Alex juga bukan Gwen yang dari dasarnya jenius. Alex bodoh, Pi. Mereka tahu itu. Psikopat itu tahu. Dia bahkan nggak kenal Alex, karena Alex nggak cukup berharga, pintar, atau menonjol bagi dia."

Alasan itu benar-benar di luar dugaanku, padahal aku sendiri yang mengatakannya. Benarkah dalam hatiku yang terdalam, aku berpikir seperti itu? Apakah itu sebabnya perasaanku tidak enak terus?

"Kamu ngomong apa?!" Tiba-tiba, ayahku benar-benar mengamuk. Aku tertegun karena tidak pernah melihat sisi beliau yang seperti ini. Sepasang mata itu dipenuhi binar-binar kemarahan membara yang untuk pertama kalinya membuatku sadar akan betapa miripnya wajahku dan wajah beliau. "Kenapa kamu butuh mereka untuk tahu dan mengakui dirimu? Tunjukkan saja siapa kamu ke mereka! Justru itu kelebihanmu, tahu! Kamu nggak jahat, kamu selalu berdiri di sisi kemanusiaan, walaupun kadang-kadang itu membuat orang sebal sama kamu. Tapi selama ini, kamu selalu memerjuangkan apa yang menurutmu benar, Alex. Kamu benar, kamu bukan orang nggak bermoral. Justru kebalikannya, kamu terlahir sebagai orang yang bertentangan sisi dengan psikopat jahat itu, dan kamu juga terlahir sebagai pemimpin. Itu sudah sifatmu, sudah takdirmu. Itulah kenapa mereka nggak memedulikan keberadaanmu, bukan karena kamu bodoh!"

Jawaban itu menamparku. Selama sedetik, aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Kemudian, setetes air mata tumpah dari pelupuk mataku.

"Kenapa nangis!" Ayahku masih marah. Sekarang, beliau mengguncang kuat kedua pundakku dan menatap mataku tajam, hingga aku ketakutan dan mulai sesenggukan. "Alex, lihat Papi! Bukannya kamu janji untuk jadi kuat demi Papi?!"

"Iya, Pi, tapi—"

Guncangan ayahku semakin kuat. "Kamu janji, kan?!"

"Iya, tapi Alex—"

Mystery of the Orphanage: Fall of the Last FortressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang